Langsung ke konten utama

Postingan

Romonli

  Oleh : M Said Marsaoly Foto :  Dokumentasi Air Romonli oleh warga tgl 04 juni 2025 Pagi itu, tanggal 2 Juni 2025, bukan suara manusia yang membangunkan kampung, tapi air. Bukan jeritan, bukan sirene. Hanya suara gemericik biasa—yang sudah akrab di bak mandi, di pipa-pipa dapur, di selang-selang plastik tua. Tapi pagi itu, air datang membawa warna. Bukan bening, tapi cokelat pekat. Bukan sejuk, tapi lengket. Air yang selama ini jadi pelipur lelah tiba-tiba berubah jadi pengingat paling getir: ada sesuatu yang rusak di hulu sana. Warga dua desa—Soasangaji dan Soalaipoh—hanya bisa diam. Lantai kamar mandi tergenang lumpur, bak air berubah seperti kubangan kecil. Tapi bukan lumpur itu yang paling menyesakkan, melainkan kesunyian yang mengikutinya: air yang selama ini mereka percaya, tiba-tiba kehilangan jiwanya. Dan seperti biasa, yang paling cepat bereaksi bukan pemerintah, melainkan langkah kaki warga sendiri. Mereka berjalan delapan jam ke hulu. Mencari sumber keruh yang tak ...

Menyusuri Air Romonli Tercemar Tanah Merah

Oleh: R. Marsaoly Foto: dokumentasi saat perjalanan Di balik keindahan lembah gunung yang membentang di belakang Kampung Mabapura, Kabupaten Halmahera Timur, kini mengalir kegelisahan. Air Romonli, sungai yang selama bertahun-tahun menjadi sumber air bersih masyarakat Desa Soa Sangaji dan Soa Laipoh, mendadak berubah warna. Air yang biasanya jernih kini keruh, bercampur lumpur merah pekat. Kondisi ini bukan akibat musim hujan biasa. Warga menduga ada sesuatu yang salah. Dan kekhawatiran itu mendorong kami untuk melakukan penelusuran langsung ke sumber air. Pagi itu, pukul 09.05 WIT, kami (saya, Acu dan Ical) memulai perjalanan dari kebun milik salah satu warga, Om Djurubasa. Dengan hanya membawa sebotol air minum seadanya dan beberapa bungkus rokok, kami mengikuti jalur pipa air yang menuju bak penampung Air Romonli, sekitar 4-5 kilometer dari kampung. Setibanya di bak penampungan, pemandangan yang kami temukan sungguh mencengangkan: endapan lumpur merah telah memenuhi bak air , ...

Pawai Obor Idulfitri di Desa Mabapura: Seruan Kemanusiaan dan Kritik Sosial

Penulis: Saiful Siawa fOTO; Pawai obor malam takbiran Mabapura TINTA KAMPUNG.INFO -  Minggu malam, 30 Maret 2025, Desa Mabapura di Kabupaten Halmahera Timur kembali dipenuhi cahaya dan gema takbir. Sekitar 200 obor dinyalakan oleh anak-anak dan pemuda desa dalam tradisi pawai obor menyambut Idulfitri 1446 H. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillah ilham” bergema menyayat malam, menjadi simbol kemenangan setelah sebulan penuh menjalani ibadah Ramadan. Namun, tahun ini suasana takbiran terasa berbeda. Di antara barisan obor yang menyusuri jalan-jalan desa, terbentang sebuah spanduk sepanjang dua meter bertuliskan: “Hentikan Genosida di Gaza.” Aksi ini bukan sekadar perayaan, tetapi juga bentuk solidaritas terhadap penderitaan rakyat Palestina yang merayakan Idulfitri di bawah bayang-bayang kehancuran. "Rakyat Palestina merayakan lebaran di tengah puing-puing. Ini adalah kezaliman yang nyata dari Netanyahu dan rezim zionis," ujar seorang pemuda Mabapura, dengan nada geram. Sement...

Penjara untuk Rakyat, Karpet Merah untuk Perusahaan

Oleh:  Risandi Latawan Ilustrasi “Ketika pohon terakhir ditebang, Ketika sungai terakhir dikeringkan, Ketika ikan terakhir ditangkap, Barulah manusia sadar bahwa uang tidak bisa dimakan.” __Eric Weiner__ Kutipan di atas menjadi peringatan serius bagi Maluku Utara—hari ini, esok, dan dua dekade ke depan. Di bawah dalih pembangunan dan investasi strategis nasional, Maluku Utara perlahan kehilangan hakikatnya sebagai tanah adat dan wilayah kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai budaya leluhur. Hampir seluruh daratannya telah dijadikan sasaran ekspansi pertambangan. Tanah dijadikan komoditas; manusia dianggap gangguan. Realitas ini menyimpan ironi yang pahit. Di satu sisi, masyarakat adat yang selama turun-temurun menjaga tanah dan hutan sebagai sumber kehidupan justru dikriminalisasi saat mempertahankan haknya. Di sisi lain, perusahaan tambang digelari karpet merah, didukung penuh oleh kekuasaan dan kekuatan bersenjata yang seharusnya netral. Kerusakan ekologis yang ditinggalkan oleh...

Belantara Sangaji

Oleh: M Said Marsaoly Ada pohon pala di sana. Ratusan hektar. Ada gaharu yang harum diam-diam, tumbuh tanpa gembar-gembor di tubuh belantara. Di antara batang-batang yang diam itu, juga ada tulang-belulang yang tidak bersuara. Tulang manusia, situs sejarah. Barangkali se orang tetua yang tak dikenal namanya, tapi barangkali menyimpan kisah yang bisa menjelaskan siapa kita. Namun pohon, tulang, dan aroma sunyi itu tidak masuk dalam peta. Tidak di atas meja para perencana pembangunan. Yang dipetakan adalah nikel, dan logam-logam lainnya yang bercahaya dalam laporan investasi. Kali Sangaji telah keruh. Ia mengalir, tapi tidak lagi membawa kehidupan. Di hulunya, mesin-mesin menggali bumi seperti mencabut urat nadi. Di tepinya, rakyat hanya bisa berdiri: kadang mematung, kadang menjerit, tapi tak terdengar. Di sana, ada nama-nama besar: PT. Position, Weda Bay Nickel, PT. WKM, dan lainnya. Nama-nama yang tidak dikenal anak-anak sekolah dasar, tapi menguasai halaman depan hidup mereka. Ketika...

Halmahera Pascakolonial

Oleh:  M Said Marsaoly Apa itu pascakolonial? Bagi sebagian pembaca, istilah ini mungkin terlalu akademik dan jauh dari pemahaman sehari-hari. Namun sesungguhnya, pascakolonial tak hanya label sejarah setelah penjajahan, melainkan cara melihat bagaimana warisan kolonial masih hidup dalam tubuh negara Merdeka—dalam cara berpikir, cara mengelola kekuasaan, hingga cara memperlakukan rakyatnya sendiri. Melalui pendekatan pascakolonial, tulisan sederhana ini berupaya membaca geliat industri ekstraktif di Pulau Halmahera yang tak meluluh soal ekonomi atau pembangunan, melainkan sebagai kelanjutan dari pola penjajahan yang kini menjelma dalam wajah baru: tambang, investasi, dan janji kesejahteraan. Di balik jargon “hilirisasi”, “ekonomi hijau”, dan “kebangkitan industri nasional”, bentang alam Halmahera—dari pesisirnya yang rapuh, pulau-pulau kecil seperti Gei, Pakal, Mabuli, Gebe hingga sungai-sungai purba sebut saja Kali Sangaji dan Sagea yang menyimpan kisah leluhur—mengalami kerusakan...

Peta yang Menyesatkan

Oleh: M Said Marsaoly "πΎπ‘–π‘‘π‘Ž β„Žπ‘Žπ‘Ÿπ‘’π‘  π‘π‘’π‘Ÿβ„Žπ‘’π‘›π‘‘π‘– π‘π‘’π‘Ÿπ‘π‘Žπ‘¦π‘Ž π‘π‘Žβ„Žπ‘€π‘Ž π‘π‘’π‘‘π‘Ž 𝑑𝑖 π‘‘π‘Žπ‘›π‘”π‘Žπ‘› π‘–π‘›π‘£π‘’π‘ π‘‘π‘œπ‘Ÿ π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž β„Žπ‘’π‘˜π‘’π‘š. πΎπ‘–π‘‘π‘Ž β„Žπ‘Žπ‘Ÿπ‘’π‘  π‘šπ‘’π‘™π‘Žπ‘– π‘π‘’π‘Ÿπ‘π‘Žπ‘¦π‘Ž π‘π‘Žβ„Žπ‘€π‘Ž π‘—π‘’π‘—π‘Žπ‘˜ π‘˜π‘Žπ‘˜π‘– 𝑑𝑖 π‘‘π‘Žπ‘›π‘Žβ„Ž, π‘–π‘Ÿπ‘Žπ‘šπ‘Ž π‘˜π‘Žπ‘šπ‘π‘’π‘›π‘”, π‘‘π‘Žπ‘› π‘π‘œβ„Žπ‘œπ‘› π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘’π‘šπ‘π‘’β„Ž π‘‘π‘–π‘Žπ‘š-π‘‘π‘–π‘Žπ‘š π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž π‘˜π‘’π‘π‘’π‘›π‘Žπ‘Ÿπ‘Žπ‘› π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘™π‘’π‘π‘–β„Ž π‘’π‘‘π‘’β„Ž." Di Jakarta, satu dokumen ditandatangani. Disebut Izin Usaha Pertambangan. Di dalamnya, terlampir selembar peta dari kertas. Garis-garis digital. Titik koordinat. Warna-warna blok. Tapi peta itu, sesungguhnya tak pernah mengenal Halmahera. Ia hanya membayangkannya. Ia tak tahu letak pohon pala yang ditanam kakek, tak tahu suara udang yang berenang di Sungai Sangaji, tak tahu di mana rusa menyeberang saat musim datang. Ia tak kenal belantara, hanya batas wilayah. Ia tak paham kesunyian hutan, hanya bicara soal produksi. Henri Lefebvre, seorang filsuf dan penulis asal Prancis, pernah menulis bahwa rua...