Halmahera Pascakolonial
Penulis: M Said Marsaoly
![]() |
M Said Marsaoly (Pegiat Salawaku Institute) |
Tintakampung.info- Apa itu pascakolonial? Bagi sebagian pembaca, istilah ini mungkin terlalu akademik dan jauh dari pemahaman sehari-hari. Namun sesungguhnya, pascakolonial tak hanya label sejarah setelah penjajahan, melainkan cara melihat bagaimana warisan kolonial masih hidup dalam tubuh negara Merdeka—dalam cara berpikir, cara mengelola kekuasaan, hingga cara memperlakukan rakyatnya sendiri.
Melalui pendekatan pascakolonial, tulisan sederhana ini berupaya membaca geliat industri ekstraktif di Pulau Halmahera yang tak meluluh soal ekonomi atau pembangunan, melainkan sebagai kelanjutan dari pola penjajahan yang kini menjelma dalam wajah baru: tambang, investasi, dan janji kesejahteraan.
Di balik jargon “hilirisasi”, “ekonomi hijau”, dan “kebangkitan industri nasional”, bentang alam Halmahera—dari pesisirnya yang rapuh, pulau-pulau kecil seperti Gei, Pakal, Mabuli, Gebe hingga sungai-sungai purba sebut saja Kali Sangaji dan Sagea yang menyimpan kisah leluhur—mengalami kerusakan ekologi yang mengerikan.
Namun, ironinya bukan hanya pada kerusakan itu sendiri, melainkan pada ketenangan sosial yang menyertainya.
Masyarakat seolah menyaksikan keruntuhan tanah dan lautnya dengan diam. Tidak ada perlawanan yang berarti. Tidak ada amarah yang meluap. Yang tersisa hanyalah rutinitas harian dan harapan samar bahwa tambang-tambang itu suatu saat akan membawa “kemajuan”.
Bayang-bayang Pembangunan
Halmahera hari ini memperlihatkan wajah dari apa yang disebut Frantz Fanon, psikiater dan pemikir asal Martinik, sebagai internal colonialism. Dalam bukunya ‘The Wretched of the Earth’ (1961), Fanon menjelaskan bagaimana negara merdeka sering kali melanjutkan logika kolonial: kekuasaan berpusat, sumber daya diekstraksi, rakyat tetap dikorbankan.
Di masa lalu, kolonialisme datang dari seberang laut. Kini, ia datang melalui surat izin usaha pertambangan dan kontrak ekspor yang dibungkus jargon nasionalisme industri.
Dalam konstruksi pascakolonial seperti ini, warga Halmahera tidak sekadar “terjajah” secara fisik, melainkan juga secara nilai dan imajinasi. Mereka diyakinkan bahwa pembangunan berarti pabrik, jalan tambang, dan smelter. Alam dan ritus adat menjadi sisa masa lalu yang mesti disingkirkan demi modernitas.
Di sinilah relevansi pemikiran NgÅ©gÄ© wa Thiong’o, sastrawan Kenya dan penulis ‘Decolonising the Mind (1986), menjadi tajam. Ia menyebut fenomena ini sebagai colonization of the mind, ‘kolonisasi mental’. ketika masyarakat pascakolonial mengadopsi cara berpikir penjajah, mengganti bahasa ibu dengan bahasa kolonial, dan mengagumi sistem yang sebenarnya menindasnya.
Tubuh masyarakat Halmahera memang masih hidup di tanah leluhur, tapi jiwanya telah dimigrasikan ke mimpi-mimpi industrial yang dibentuk dari luar.
Sindrom Ketergantungan
Fenomena ini juga tak bisa dilepaskan dari apa yang dalam teori pembangunan disebut dependency syndrome, sindrom ketergantungan. Teori ini dikembangkan oleh para pemikir ekonomi Amerika Latin seperti Raúl Prebisch, untuk menjelaskan bagaimana negara-negara dunia ketiga terjebak menjadi pemasok bahan mentah dan setengah jadi bagi negara maju.
Dalam konteks Halmahera hari ini, warga tak hanya kehilangan kontrol atas ruang hidup, tetapi juga menerima posisi tersebut sebagai normal. Maka, tambang tidak lagi dipandang sebagai ancaman ekologis, melainkan sebagai “berkah pembangunan”. Ketika sungai tercemar logam berat, pesisir rusak, mangrove mati, dan ikan-ikan menjau, masyarakat tetap berharap bahwa semua ini adalah bagian dari jalan menuju kesejahteraan.
Ketika pemerintah daerah mencoba bersikap, suara mereka sering kali redup di hadapan komando dari pusat. Dalam banyak kasus, keberanian lokal untuk menertibkan pelanggaran industri justru dihentikan oleh tekanan vertikal. Birokrasi daerah tak ubahnya perpanjangan tangan Jakarta—mengikuti perintah meskipun tahu yang dijalankan kerap melukai tanah dan rakyat sendiri.
Penghilangan Sejarah
Namun, diamnya masyarakat bukan semata-mata soal apatisme. Ia adalah hasil dari disconnectedness—suatu pemisahan paksa antara ruang hidup dan kesadaran historis.
Jika masyarakat Rempang menunjukkan kekuatan memori kolektif dan keterikatan pada situs-situs leluhur, Halmahera justru memperlihatkan tubuh yang masih tinggal di ruang adat, namun mentalnya telah terpisah dari akar sejarah. Penghilangan narasi lokal, penyeragaman pendidikan, dan dominasi bahasa pembangunan telah membuat masyarakat melupakan bahwa mereka pernah memiliki cara sendiri dalam menata dunia.
Anak-anak tidak lagi belajar tentang leluhur yang menjaga hutun-hutan keramat. Mereka kini belajar menggambar dump truck dan excavator. Kecanggihan mesin menggantikan kisah.
Pascakolonialisme mengajak kita untuk tidak terbuai oleh narasi “merdeka” semata, tetapi justru bertanya: siapa yang benar-benar merdeka? Di Halmahera, tanah telah digali dan dijarah, laut telah ditambatkan oleh pelabuhan raksasa, dan sungai tak lagi bening membawa kisah. Namun suara yang lahir dari luka itu nyaris tak terdengar—bukan karena bisu, tetapi karena telah lama dipisahkan dari ingatannya sendiri.
Mengingat Kembali
Di sinilah letak pentingnya mengembalikan memori dan ingatan sosial-ekologis. Karena ketika masyarakat kehilangan narasi sendiri, mereka akan hidup dalam cerita orang lain. Mereka akan menyebut tambang sebagai kemajuan, meski hidup makin sempit dan laut tak lagi memberi makan.
‘Mengingat’, dalam konteks ini, bukan nostalgia, ia adalah perlawanan terhadap lupa yang disengaja. Dan Halmahera, dalam denyut tubuhnya yang terus dilukai, masih menyimpan ingatan akan tanah, akan laut, dan akan leluhur yang pernah mengajarkan cara hidup tanpa merusak.
Jika pascakolonialisme adalah upaya membuka luka yang disembunyikan oleh narasi pembangunan, maka Halmahera hari ini adalah luka itu sendiri. (*)
*Tulisan ini pernah dimuat di situs website Halmaheranesia.com
Post a Comment