Oleh: M Said Marsaoly "πΎππ‘π βπππ’π πππβπππ‘π ππππππ¦π ππβπ€π πππ‘π ππ π‘πππππ πππ£ππ π‘ππ πππππβ βπ’ππ’π. πΎππ‘π βπππ’π ππ’πππ ππππππ¦π ππβπ€π πππππ ππππ ππ π‘πππβ, πππππ πππππ’ππ, πππ ππβππ π¦πππ π‘π’πππ’β ππππ-ππππ πππππβ πππππππππ π¦πππ ππππβ π’π‘π’β." Di Jakarta, satu dokumen ditandatangani. Disebut Izin Usaha Pertambangan. Di dalamnya, terlampir selembar peta dari kertas. Garis-garis digital. Titik koordinat. Warna-warna blok. Tapi peta itu, sesungguhnya tak pernah mengenal Halmahera. Ia hanya membayangkannya. Ia tak tahu letak pohon pala yang ditanam kakek, tak tahu suara udang yang berenang di Sungai Sangaji, tak tahu di mana rusa menyeberang saat musim datang. Ia tak kenal belantara, hanya batas wilayah. Ia tak paham kesunyian hutan, hanya bicara soal produksi. Henri Lefebvre, seorang filsuf dan penulis asal Prancis, pernah menulis bahwa rua...