Oleh : M Said Marsaoly Foto : Dokumentasi Air Romonli oleh warga tgl 04 juni 2025 Pagi itu, tanggal 2 Juni 2025, bukan suara manusia yang membangunkan kampung, tapi air. Bukan jeritan, bukan sirene. Hanya suara gemericik biasa—yang sudah akrab di bak mandi, di pipa-pipa dapur, di selang-selang plastik tua. Tapi pagi itu, air datang membawa warna. Bukan bening, tapi cokelat pekat. Bukan sejuk, tapi lengket. Air yang selama ini jadi pelipur lelah tiba-tiba berubah jadi pengingat paling getir: ada sesuatu yang rusak di hulu sana. Warga dua desa—Soasangaji dan Soalaipoh—hanya bisa diam. Lantai kamar mandi tergenang lumpur, bak air berubah seperti kubangan kecil. Tapi bukan lumpur itu yang paling menyesakkan, melainkan kesunyian yang mengikutinya: air yang selama ini mereka percaya, tiba-tiba kehilangan jiwanya. Dan seperti biasa, yang paling cepat bereaksi bukan pemerintah, melainkan langkah kaki warga sendiri. Mereka berjalan delapan jam ke hulu. Mencari sumber keruh yang tak ...