![]() |
Ilustrasi Cerpen. Oleh Canva AI |
Dalam kampung yang tak lagi hidup. Setiap hari, ia hanya bisa berkata dalam hati: “Kami telah kehilangan kampung.”
Ibunya berdiri menunggu di depan rumah. Punggungnya membungkuk sedikit, menahan beban saloi di punggung. Lama ia menunggu. Karena berat, saloi itu ia turunkan perlahan ke bangku kayu di teras. Satu per satu ia keluarkan isinya: gumala, nilon, air dalam gelong lima liter, dua parang, dan sebuah kuda-kuda kecil.
“Mon… Bamoon, ayo, Nak… kau lama sekali,” serunya.
“Sebentar, Bu. Aku masih terima telepon dari teman kuliah di Jakarta,” sahut Mon dari dalam kamar.
“Sabar terus… ah, kau ini. Nanti matahari makin panas, angin kancang, laut gelombang,” keluh ibunya dalam nada Halmahera yang pekat. Sambil berkata, ia mengupas kulit pinang dengan pisau kecil.
Pintu kamar diseret. Suaranya kasar. Mon muncul dengan wajah malas, melangkah ke depan.
Ibunya menatap heran. “Hei, Mon… kita mau mancing di laut, bukan ke kondangan. Ganti pakaianmu itu. Buka celana panjang dan kemejamu. Pakai baju lama yang ada di lemari.”
“Ah, nggak apa-apa, Bu. Biasa saja,” jawab Mon lesu.
“Jangaaan!” bentak ibunya, kali ini setengah marah.
Mon kembali masuk. Ia buka lemari, tarik satu persatu pakaian lamanya. Di antara tumpukan, ia temukan kaos lusuh semasa SMA. Ia pegang lama. Bukan karena kenangan, bukan karena rindu. Tapi karena rasa asing. Canggung. Malu. Ia takut dibilang kampungan jika ketahuan orang. Ia anak kota sekarang. Mahasiswa. Celana robek di lutut dan kemeja flanel lebih mencitrakan siapa dirinya saat ini.
“Mon, cepat. Jangan lupa linggis di dapur, bawah tungku. Kita akan mampir ke pulau, ambil biya batu karang,” panggil ibunya lagi.
Tak ada jawaban. Ia menyusul. Rumah hening. Dapur terbuka setengah—padahal dua jam lalu sudah dikunci. Ia curiga. Mon mungkin keluar lewat pintu belakang.
Sudah beberapa kali begini. Mon selalu berdalih bila diajak ke laut. Lalu menghilang tanpa pamit. Ibu mulai resah, dan sedikit marah. Tapi mau cari ke mana?
Ia kembali duduk di teras, di antara peralatan mancing yang kini tampak sia-sia. Pandangannya menyapu jalan. Menanyai siapa saja yang lewat. Tak ada yang tahu ke mana Mon pergi.
Hari ini harus makan ikan, tekadnya dalam hati. Sudah tiga hari hanya mie goreng dan ikan kaleng. Kita orang laut. Kita bangsa nelayan.
Hari makin terik. Angin mulai liar. Riak laut memutih. Bagelombang. Ia kunyah pinang, dicampur sirih dan kapur. Mulutnya merah tua. Nikmat, tapi pikirannya jauh dari tenang.
Laut di depan rumah menghampar. Hanya lima belas langkah dari teras. Tapi hari ini laut tampak asing. Seperti hatinya.
Ia teringat suaminya. Dulu mereka ke laut bersama. Mancing bersama. Menggali biya bersama. Tapi sejak bekerja di tambang, waktu mereka tercuri. Kini ia hanya menunggu. Menyendiri. Sementara laut tetap memanggil, dan rumah terasa sunyi.
Pikiran ibu berkelana. Ke masa lampau. Ke kampung yang dulu. Kampung Wefli. Yang kini sepi dari suara parang, cangkul, dan kuda-kuda. Sungai tak lagi riuh oleh tawa anak-anak. Lembah pala di seberang telah dijual masuk konsesi perusahaan. Laut lengang, perahu nelayan lenyap.
Dulu, lima pulau di depan kampung selalu ramai. Bobane tempat singgah. Kini, sebagian sudah dikeruk tambang. Tak ada lagi suara dayung. Yang terdengar hanya traktor yang menggerus gunung, klakson mobil perusahaan yang melibas kebun.
Semua dimulai ketika kampung mulai menjual tanah. Demi janji uang cepat. Demi mimpi “kemajuan”.
Ia teringat suaminya saat pertama melamar di perusahaan:
"Kerja di tambang mudah uang, Bu. Gaji besar. Cepat pegang juta-jutaan. Tidak seperti laut dan kebun, susah… lama baru ada hasil. Tambang akan majukan kampung kita, seperti kata pemerintah."
Kenapa bisa begini? tanyanya lirih dalam hati. Tapi tak ada yang menjawab.
Dari lamunannya, ia tersentak. Pandangan menangkap piring dan gelas kotor di lantai dapur. Ia segera bereskan. Cuci bersih. Tapi selesai itu… ia bingung. Tak tahu apa lagi yang bisa dikerjakan.
Ia duduk lagi. Dan termenung lagi.
Setiap kali memikirkan kampung, hatinya berputar: marah, kecewa, lalu sedih. Kemudian pasrah. Begitu terus.
Padahal tubuhnya tak terbiasa duduk diam. Sejak kecil ia kerja kebun, laut. Tapi kini, semua terasa kaku. Hari-hari terasa hampa. Suaminya jarang di rumah. Hanya datang bila libur. Itu pun sebentar.
"Apakah semua istri karyawan tambang juga merasa seperti aku?" tanyanya dalam hati.
Mon pun berubah. Dulu anak penurut. Suka ikut ke kebun, ke laut. Kini malas. Jauh. Terasing. Seperti tak lagi mengenal kampung. Dan itu menyakitkan.
"Ya, begitulah anak kuliahan," ia mencoba berdamai, "megangnya buku dan laptop. Bukan kail, parang, atau cangkul."
Tiba-tiba terdengar salam dari luar. Itu suara Jisma, adik perempuan Mon, baru pulang sekolah. Ia masuk, salam, lalu mencari-cari kakaknya.
“Kak Mooon… di mana, Bu?”
“Ibu tidak tahu. Tadi ajak dia mancing. Tapi tiba-tiba dia menghilang.”
Jisma terlihat kecewa. Ia sangat dekat dengan Mon. Kakak satu-satunya. Teman bermain, teman bercerita.
“Bu, aku lapar…”
“Maaf, Nak… siang ini cuma ada nasi dan mie goreng. Kalau tadi kakakmu ikut, pasti siang ini kita makan ikan rebus dan biya batu karang.”
“Tak apa, Bu. Aku malah suka mie goreng, atau nasi bungkus dari perusahaan. Kata kak Mon, ikan rebus dan biya itu makanan kampungan. Hahaha…”
Ibunya terdiam. Tenggorokannya tercekat. Hatinya… koyak. Kenapa makanan kampung dianggap hina? Bukankah itu makanan yang membesarkan kalian? Makanan leluhur. Makanan yang mengingatkan asal-usul. Yang menjaga hubungan dengan tanah dan laut. Dengan ibu dan kampung.
Tapi ia hanya bisa simpan itu di dalam. Bukan hanya anaknya yang ingin ia tegur. Tapi seluruh keadaan.
Di suatu pagi, teman Mon bertanya:
“Mon, kenapa tidak ikut ibumu ke kebun?”
“Gengsi lah…” jawab Mon cepat. Serius. “Masak ke kebun? Aku kan calon sarjana. Cocoknya kerja di kantor, bro. Kantooor…”
Mon yang dulu biasa menggenggam parang dan nilon, kini lebih akrab dengan laptop dan bolpoin. Tangannya kehilangan kebiasaan kampung. Tubuhnya menjauh dari tanah dan laut. Ingatannya pun perlahan ikut menguap. Matarantai kenangan dengan kampung seolah putus.
Dan ibu Mon terus hidup dalam kegelisahan. Dalam rumah yang sunyi. Dalam kampung yang tak lagi hidup. Setiap hari, ia hanya bisa berkata dalam hati:
“Kami telah kehilangan kampung.”
Dan tak seorang pun tahu apa yang ia rasakan. Ia sendiri.