Langsung ke konten utama

Putusnya Mata-rantai Pengetahuan Kampung

Oleh: Rahmat Marsaoly


Ilustrasi Gambar
Sumber: google, protesters

...Papa, kalo torang mo tebang pohon sagu untuk bikin sagu tumangusia pohon sagu harus berapa tahun? Tanya bagitu ngoni mo bikin sagu kong? Dia p usia kurang lebe 13-14 tahun baru bisa bikin. Ngoni anak-anak sekarang so tra poha bikin...

Tintakampung.info- Kalimat itu adalah potongan percakapan saya dengan bapak saya. Jawabannya adalah sindiran yang lembut, tapi sarat makna. Ia menyingkap kenyataan menyedihkan yang sedang kita hadapi hari ini. Generasi kami—anak-anak kampung yang hidup di zaman ini—tak lagi akrab dengan pengetahuan dasar yang dulu menjadi warisan dan kebanggaan leluhur. Saya sendiri, dan barangkali banyak teman seangkatan, bahkan tak tahu pada usia berapa pohon sagu bisa dipanen. Pengetahuan itu, yang dulu tertanam kuat dalam hidup sehari-hari orang kampung, kini tak lagi tinggal di kepala kami.

Saya tidak sedang menulis tentang cara membuat sagu. Tapi tentang sesuatu yang jauh lebih penting: Pengetahuan Kampung. Pohon sagu, dalam konteks ini, hanyalah contoh—ia adalah representasi dari dunia pengetahuan yang tumbuh dan hidup dalam tubuh kampung. Bagi saya, pohon sagu bukan hanya pohon bahan pangan. Ia adalah "pohon pengetahuan". Ia menyimpan filosofi, nilai, dan kearifan lokal yang kini mulai dilupakan, bahkan oleh anak-anak kampung sendiri.

Apa yang menyebabkan rantai pengetahuan ini terputus? Saya teringat pidato filsuf sekaligus astronom Indonesia, Prof. Karlina Supelli, dalam orasi berjudul Kebudayaan dan Kegagapan Kita. Beliau berkata:
"Bagi banyak masyarakat adat di Indonesia, hutan bukan sekadar sumber mata pencaharian. Hutan adalah acuan bagi rasa merasa akan kosmos, sejarah muasal, tata hukum, dan tunjuk ajar perilaku."

Dalam kalimat itu, hutan—dan seluruh isinya—bukan hanya tempat hidup, tapi ruang pengetahuan dan spiritualitas. Begitu pula dengan pohon sagu. Ia bukan semata tanaman penghasil pangan, tetapi sumber pengetahuan yang mengajarkan tentang asal-usul, tata kehidupan, hukum adat, hingga etika berperilaku. Setiap unsur dalam ekosistem kampung—tanah, air, tanaman, laut—bukan hanya benda mati, tapi bagian dari sistem pengetahuan yang holistik dan saling terkait.

Namun hari ini, pengetahuan itu terancam. Perlahan tapi pasti, rantai pengetahuan kampung mulai putus. Dan ketika pengetahuannya hilang, ikut hilang pula hukum kehidupan, etika, dan nilai moral yang dulu menyatu dengan alam dan keseharian. Karena pengetahuan tak bisa dilepaskan dari sumber materialnya. Bagaimana mungkin kita bisa mengajarkan cara menanam sagu, jika tanah tempat menanamnya telah dijual atau dikuasai pihak lain? Bagaimana mungkin kita tahu cara menjaga ekosistem air, jika sungai dan danau telah dicemari?

Pohon sagu bukan hanya penyedia pangan, tapi juga penyangga ekologi dan kesehatan. Dari akar, pelepah, hingga daun, semuanya berguna. Akar sagu dipercaya mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Di Halmahera (Maba, Patani, Weda), pelepah sagu digunakan dalam pembuatan Cokaiba—sebuah struktur penting dalam tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW. Sagu bahkan dimaknai secara filosofis: kulit batang melambangkan sifat manusia, isi batang melambangkan hati, dan sagu matang melambangkan nilai hidup yang dijalani.

Inilah inti dari pengetahuan kampung: pengetahuan yang tidak sekadar teknis, tapi sarat makna, spiritualitas, dan kearifan. Ia membentuk hukum adat, budaya, dan tata nilai yang mengikat satu komunitas dalam ruang hidup bersama.

Bayangkan jika pohon-pohon sagu ditebang habis oleh mereka yang tak paham maknanya. Yang hilang bukan hanya pohon itu, tapi seluruh pengetahuan yang menyertainya. Dan parahnya, banyak yang menganggap kehilangan ini hal biasa. Sebab kehidupan terlihat tetap berjalan. Tapi di balik itu, kita sedang membiarkan tubuh kampung menjadi asing bagi dirinya sendiri—akibat cara pandang yang dibentuk oleh pengetahuan luar, yang tidak tumbuh dari tanah kampung.

Hal yang sama berlaku di laut. Orang kampung tak melihat laut hanya sebagai tempat menangkap ikan. Laut adalah ruang hidup, tempat belajar tentang kedalaman hati dan keluasan jiwa. Ada hubungan spiritual antara manusia dan makhluk laut. Sebagian jenis ikan dianggap memiliki hubungan khusus dengan manusia—dan tak boleh sembarang dimakan. Ini bukan takhayul, tapi bagian dari kosmologi kampung. Sebuah cara pandang yang menyatukan manusia, alam, dan Tuhan.

Tanjung dan teluk pun tak sekadar tempat. Nama-nama mereka punya sejarah, punya cerita. Teluk Epa, misalnya, dahulu menjadi simpul silaturahmi antara Buli dan Maba. Ruang hidup bersama, tempat bertukar hasil bumi dan cerita. Tapi ketika perusahaan tambang datang dan mengeksploitasi wilayah itu, semua berubah. Teluk kehilangan makna, manusia kehilangan ruang.

Perusahaan tambang memang mempercepat hilangnya sumber material pengetahuan kampung. Tapi keterputusan itu sudah mulai sejak lama—dari pendidikan. Sistem pendidikan kita tak mengakar pada realitas kampung. Sejak SD hingga perguruan tinggi, anak-anak dididik menjauh dari tubuh tanahnya. Pendidikan menjadi semacam pisau bermata dua: bisa mencerdaskan, tapi juga bisa membuat kita buta akan dunia sekitar. Sistem pendidikan modern cenderung membentuk manusia praktis, tapi minus kualitas hidup dan nilai.

Bukan berarti kita harus menolak pendidikan modern. Tapi penting untuk diakui: pendidikan hari ini belum ramah terhadap pengetahuan kampung. Ia tak memberi ruang yang cukup bagi nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal. Ia sibuk mengejar hasil, tapi lupa akar. Pendidikan modern perlahan—tanpa kita sadari—menghapus prinsip dasar pendidikan kampung.

Dan kita membiarkannya begitu saja.

Mabapura, Januari 2025

Postingan populer dari blog ini

Kehilangan Kampung

  Oleh : Rahmat Marsaoly Ilustrasi Cerpen. Oleh Canva AI Dalam kampung yang tak lagi hidup. Setiap hari, ia hanya bisa berkata dalam hati:   “Kami telah kehilangan kampung.” Ibunya berdiri menunggu di depan rumah. Punggungnya membungkuk sedikit, menahan beban saloi di punggung. Lama ia menunggu. Karena berat, saloi itu ia turunkan perlahan ke bangku kayu di teras. Satu per satu ia keluarkan isinya: gumala, nilon, air dalam gelong lima liter, dua parang, dan sebuah kuda-kuda kecil. “Mon… Bamoon, ayo, Nak… kau lama sekali,” serunya. “Sebentar, Bu. Aku masih terima telepon dari teman kuliah di Jakarta,” sahut Mon dari dalam kamar. “Sabar terus… ah, kau ini. Nanti matahari makin panas, angin kancang, laut gelombang,” keluh ibunya dalam nada Halmahera yang pekat. Sambil berkata, ia mengupas kulit pinang dengan pisau kecil. Pintu kamar diseret. Suaranya kasar. Mon muncul dengan wajah malas, melangkah ke depan. Ibunya menatap heran. “Hei, Mon… kita mau mancing di laut, bukan ke konda...

Azam dan Karang Harapan

Penulis: Iswandi Siawa Ilustrasi Azam dan Karang Harapan Tintakampung.info-  Sekolah deng tara sekolah sama saja cari makan. (Azam) Mabapura, seorang lelaki yang berusia anak padi, tumbuh di tengah kehidupan yang mencekam. Setelah berpindah dari negeri seberang [1] ke Mabapura, Azam hidup bersama dua pasangan suami istri [2] yang menjadikan Azam kokoh dan kuat menjalani hidup setiap harinya. Saat teman-temannya menyiapkan buku dan pena untuk meraih mimpi di bangku sekolah, lain hal dengan Azam yang harus menyiapkan mata kail serta alat mancing lainnya.  Kehidupan Azam begitu kompleks dengan lautan. Tempat ikan seputaran laut Mabapura hampir dikuasainya, bahkan waktu ikan datang dan pergi. Pagi, Azam telah bergegas ke ujung pelabuhan. Ia gantungkan harapan seorang diri di ujung mata kail setiap kali lemparan ke laut.   Ia seorang diri menyambut fajar dengan semangat keemasan yang menyelimuti pagi . Kesejukan laut Mabapura di pagi hari adalah ketenangan yang tiada tand...