𝐏𝐞𝐭𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐞𝐬𝐚𝐭𝐤𝐚𝐧!

Penulis: M Said Marsaoly
illustrasi

Tintakampung.info- "𝐾𝑖𝑡𝑎 ℎ𝑎𝑟𝑢𝑠 𝑏𝑒𝑟ℎ𝑒𝑛𝑡𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑐𝑎𝑦𝑎 𝑏𝑎ℎ𝑤𝑎 𝑝𝑒𝑡𝑎 𝑑𝑖 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑖𝑛𝑣𝑒𝑠𝑡𝑜𝑟 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ ℎ𝑢𝑘𝑢𝑚. 𝐾𝑖𝑡𝑎 ℎ𝑎𝑟𝑢𝑠 𝑚𝑢𝑙𝑎𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑐𝑎𝑦𝑎 𝑏𝑎ℎ𝑤𝑎 𝑗𝑒𝑗𝑎𝑘 𝑘𝑎𝑘𝑖 𝑑𝑖 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ, 𝑖𝑟𝑎𝑚𝑎 𝑘𝑎𝑚𝑝𝑢𝑛𝑔, 𝑑𝑎𝑛 𝑝𝑜ℎ𝑜𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ 𝑑𝑖𝑎𝑚-𝑑𝑖𝑎𝑚 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑢𝑡𝑢ℎ."

Di Jakarta, satu dokumen ditandatangani. Disebut Izin Usaha Pertambangan. Di dalamnya, terlampir selembar peta dari kertas. Garis-garis digital. Titik koordinat. Warna-warna blok.

Tapi peta itu, sesungguhnya tak pernah mengenal Halmahera. Ia hanya membayangkannya.

Ia tak tahu letak pohon pala yang ditanam kakek, tak tahu suara udang yang berenang di Sungai Sangaji, tak tahu di mana rusa menyeberang saat musim datang. Ia tak kenal belantara, hanya batas wilayah. Ia tak paham kesunyian hutan, hanya bicara soal produksi.

Henri Lefebvre, seorang filsuf dan penulis asal Prancis, pernah menulis bahwa ruang bukanlah wadah netral, melainkan hasil dari kekuasaan dan relasi sosial. Dalam 𝑇ℎ𝑒 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑜𝑓 𝑆𝑝𝑎𝑐𝑒, Lefebvre menunjukkan bahwa ruang bisa menjadi alat untuk menundukkan kehidupan—terutama saat ia dipetakan, diatur, dan dijadikan angka.

Ia juga mengatakan ruang modern sebagai produk kuasa. Peta, katanya, bukan representasi kenyataan, tapi alat kekuasaan untuk menaklukkan kenyataan. Maka tak heran bila pengusaha tambang datang dengan peta di tangan—seolah yang digenggamnya adalah kebenaran. 

Garis-garis itu menjadi senjata, dan rakyat yang hidup di atas tanah itu menjadi objek yang harus menyesuaikan.

Dan begitulah tirani IUP bekerja. Ia tak datang bersama rakyat. Ia datang dari atas. Jauh dari sungai. Jauh dari kebun. Jauh dari hidup yang sebenarnya.

Di Halmahera, di kampung-kampung, waktu berjalan lambat. Lefebvre menyebutnya everyday life. Irama sehari-hari: membuka kebun, menokok sagu, menggali tanah dengan tangan—bukan dengan mesin. Tapi waktu seperti itu dianggap tidak produktif. Tidak efisien. Tidak mendatangkan angka.

Maka ruang pun diubah. Dari tempat tinggal, menjadi lokasi tambang. Dari hutan adat, menjadi konsesi. Dari sungai kehidupan, menjadi saluran limbah. Dan semua itu disebut pembangunan.

Tapi siapa yang dibangun? Siapa yang ditinggikan?

Maluku Utara tidak butuh peningkatan kapasitas produksi tambang. Yang ia butuh adalah pemulihan. Pulau ini lelah. Hutan-hutannya memar. Sungainya keruh. Udara berat. Dan masyarakatnya dipaksa tunduk pada skema-skema pertumbuhan yang bahkan tak mereka pahami.

Sudah saatnya Halmahera berhenti dijadikan ruang produksi. Ia harus kembali menjadi ruang hidup.

Kita harus berhenti percaya bahwa peta di tangan investor adalah hukum. Kita harus mulai percaya bahwa jejak kaki di tanah, irama kampung, dan pohon yang tumbuh diam-diam adalah kebenaran yang lebih utuh.

Karena di ujung hari, yang disebut “kekayaan” bukan tambang. Tapi kehidupan yang bertahan. Dan yang bertahan tak selalu yang kuat, tapi yang paling tahu bagaimana menjaga ritmenya sendiri. (*)

Diberdayakan oleh Blogger.