"πΎππ‘π βπππ’π πππβπππ‘π ππππππ¦π ππβπ€π πππ‘π ππ π‘πππππ πππ£ππ π‘ππ πππππβ βπ’ππ’π. πΎππ‘π βπππ’π ππ’πππ ππππππ¦π ππβπ€π πππππ ππππ ππ π‘πππβ, πππππ πππππ’ππ, πππ ππβππ π¦πππ π‘π’πππ’β ππππ-ππππ πππππβ πππππππππ π¦πππ ππππβ π’π‘π’β."
Di Jakarta, satu dokumen ditandatangani. Disebut Izin Usaha Pertambangan. Di dalamnya, terlampir selembar peta dari kertas. Garis-garis digital. Titik koordinat. Warna-warna blok.
Tapi peta itu, sesungguhnya tak pernah mengenal Halmahera. Ia hanya membayangkannya.
Ia tak tahu letak pohon pala yang ditanam kakek, tak tahu suara udang yang berenang di Sungai Sangaji, tak tahu di mana rusa menyeberang saat musim datang. Ia tak kenal belantara, hanya batas wilayah. Ia tak paham kesunyian hutan, hanya bicara soal produksi.
Henri Lefebvre, seorang filsuf dan penulis asal Prancis, pernah menulis bahwa ruang bukanlah wadah netral, melainkan hasil dari kekuasaan dan relasi sosial. Dalam πβπ πππππ’ππ‘πππ ππ πππππ, Lefebvre menunjukkan bahwa ruang bisa menjadi alat untuk menundukkan kehidupan—terutama saat ia dipetakan, diatur, dan dijadikan angka.
Ia juga mengatakan ruang modern sebagai produk kuasa. Peta, katanya, bukan representasi kenyataan, tapi alat kekuasaan untuk menaklukkan kenyataan. Maka tak heran bila pengusaha tambang datang dengan peta di tangan—seolah yang digenggamnya adalah kebenaran.
Garis-garis itu menjadi senjata, dan rakyat yang hidup di atas tanah itu menjadi objek yang harus menyesuaikan.
Dan begitulah tirani IUP bekerja. Ia tak datang bersama rakyat. Ia datang dari atas. Jauh dari sungai. Jauh dari kebun. Jauh dari hidup yang sebenarnya.
Di Halmahera, di kampung-kampung, waktu berjalan lambat. Lefebvre menyebutnya everyday life. Irama sehari-hari: membuka kebun, menokok sagu, menggali tanah dengan tangan—bukan dengan mesin. Tapi waktu seperti itu dianggap tidak produktif. Tidak efisien. Tidak mendatangkan angka.
Maka ruang pun diubah. Dari tempat tinggal, menjadi lokasi tambang. Dari hutan adat, menjadi konsesi. Dari sungai kehidupan, menjadi saluran limbah. Dan semua itu disebut pembangunan.
Tapi siapa yang dibangun? Siapa yang ditinggikan?
Maluku Utara tidak butuh peningkatan kapasitas produksi tambang. Yang ia butuh adalah pemulihan. Pulau ini lelah. Hutan-hutannya memar. Sungainya keruh. Udara berat. Dan masyarakatnya dipaksa tunduk pada skema-skema pertumbuhan yang bahkan tak mereka pahami.
Sudah saatnya Halmahera berhenti dijadikan ruang produksi. Ia harus kembali menjadi ruang hidup.
Kita harus berhenti percaya bahwa peta di tangan investor adalah hukum. Kita harus mulai percaya bahwa jejak kaki di tanah, irama kampung, dan pohon yang tumbuh diam-diam adalah kebenaran yang lebih utuh.
Karena di ujung hari, yang disebut “kekayaan” bukan tambang. Tapi kehidupan yang bertahan. Dan yang bertahan tak selalu yang kuat, tapi yang paling tahu bagaimana menjaga ritmenya sendiri. (*)