Langsung ke konten utama

Menyusuri Air Romonli Tercemar Tanah Merah

Oleh: R. Marsaoly
Foto: dokumentasi saat perjalanan
Di balik keindahan lembah gunung yang membentang di belakang Kampung Mabapura, Kabupaten Halmahera Timur, kini mengalir kegelisahan. Air Romonli, sungai yang selama bertahun-tahun menjadi sumber air bersih masyarakat Desa Soa Sangaji dan Soa Laipoh, mendadak berubah warna. Air yang biasanya jernih kini keruh, bercampur lumpur merah pekat.

Kondisi ini bukan akibat musim hujan biasa. Warga menduga ada sesuatu yang salah. Dan kekhawatiran itu mendorong kami untuk melakukan penelusuran langsung ke sumber air.

Pagi itu, pukul 09.05 WIT, kami (saya, Acu dan Ical) memulai perjalanan dari kebun milik salah satu warga, Om Djurubasa. Dengan hanya membawa sebotol air minum seadanya dan beberapa bungkus rokok, kami mengikuti jalur pipa air yang menuju bak penampung Air Romonli, sekitar 4-5 kilometer dari kampung.

Setibanya di bak penampungan, pemandangan yang kami temukan sungguh mencengangkan: endapan lumpur merah telah memenuhi bak air, mencemari seluruh sistem distribusi ke rumah warga. Namun yang lebih mengejutkan, aliran lumpur itu terbukti tidak hanya berhenti di situ. Sepanjang lembah yang kami susuri, lumpur mengalir bersama air, membungkus batu-batu dan akar pohon dengan lapisan tanah merah.

Kami terus mengikuti aliran tersebut, menembus hutan rimba yang masih asri. Sekitar dua kilometer dari bak penampungan, sebuah jalan hauling selebar sekitar 40 meter membentang memotong lembah. Di sanalah kami menemukan sumber pencemaran itu: proyek pembukaan jalan tambang milik perusahaan PT Geomin dan PT Sumber Daya Arindo (SDA).

Sebuah alat berat ekskavator sedang bekerja di lokasi. Saat kami wawancarai, operator menyebut bahwa jalan ini mulai dibuka sejak Januari 2025 atau sejak 6 bulan lalu. Namun, baru dalam beberapa minggu terakhir aktivitas pelebaran dilakukan. Ia juga mengakui bahwa setiap hujan deras, lumpur dari pekerjaan tersebut terbawa air dan langsung mengalir ke lembah, tempat Air Romonli bermata.

Tanggul yang Dijebol, Sungai yang Jadi Saluran Limbah

Dalam perjalanan lanjutan menuju Camp 1000 (markas operasional perusahaan), kami melihat tanggul-tanggul jalan hauling yang tampaknya sengaja dijebol untuk mengalirkan air hujan dari badan jalan. Namun saluran-saluran tersebut tidak dibuat dengan perhitungan lingkungan yang memadai. Akibatnya, air yang membawa lumpur langsung turun ke lembah, mencemari aliran yang menjadi sumber kehidupan warga.

Setibanya di camp, kami bertemu dengan Lukman, penanggung jawab pembukaan jalan hauling. Kepadanya, kami sampaikan temuan lapangan dan kekhawatiran warga. Namun tanggapan yang kami terima sangat mengecewakan. Lukman mengaku tidak mengetahui bahwa ada sumber air warga di lembah tersebut, dan menyalahkan warga karena tidak “melapor” sebelumnya. Sebuah tanggapan yang sangat kurangajar.

Pernyataan tersebut menimbulkan kemarahan di antara kami. Bagaimana bisa sebuah perusahaan besar membuka jalan selebar puluhan meter tanpa studi lingkungan yang memadai? Tanpa koordinasi dengan masyarakat yang selama lebih dari lima dekade menggantungkan hidup pada sungai itu? ini membuktikan bahwa perusahan tambang hari ini banyak yang memang tidak memperdulikan nasib keselamatan warga dan alam.

Air Romonli bukan semata airnya. Tapi simbol ketergantungan masyarakat pada alam. Kini, dapur-dapur warga Mabapura harus menerima air berlumpur dari keran. Anak-anak mandi dengan air yang mengandung tanah merah. Aktivitas rumah tangga menjadi terganggu. Krisis ini bukan hanya tentang kualitas air, tetapi juga tentang hak dasar yang dilanggar.

Pencemaran Air Romonli menunjukkan kegagalan sistemik dalam tata kelola lingkungan dan komunikasi antara perusahaan dan masyarakat. Kejadian ini harus menjadi peringatan keras, bahwa pembangunan tanpa pertimbangan ekologis akan membawa bencana. Bukan hanya bagi lingkungan, tetapi juga bagi manusia.

Warga kini menuntut tanggung jawab. Mereka berharap ada tindakan konkret dari pemerintah daerah, terutama perusahan dan dinas lingkungan hidup, dan semua pihak terkait untuk menghentikan pencemaran ini dan memulihkan kondisi Air Romonli.

Perusahaan juga harus membuka ruang dialog dan transparansi. Tidak cukup hanya mengatakan “tidak tahu”. Yang dibutuhkan sekarang adalah tanggung jawab dan bukan hanya perbaikan air, tapi juga tidak boleh membongkar wilayah hutan dan gunung yang berada tepat di belakang Mabapura. Sebab, disanalah hutan terakhir dari wilayah Mabapura. Tempat urat-urat sungai saling berhubungan antara datu dengan yang lain. Yang tidak hanya menghidupi masyarakat hari ini, tapi juga sebelumnya dan generasi kemudian hingga selamanya.

Sungai yang dulu jernih kini membawa cerita luka. Tapi dari luka itulah, kami berharap lahir kesadaran baru: bahwa air adalah hak, alam adalah hak, dan hak itu tidak boleh dicemari oleh kelalaian dan ketidaktahuan. Apalagi kerakusan dan ketamakan.*

*Catatan perjalanan 2 akan menyusul diterbitkan di Tintakampung.info

Postingan populer dari blog ini

Kehilangan Kampung

  Oleh : Rahmat Marsaoly Ilustrasi Cerpen. Oleh Canva AI Dalam kampung yang tak lagi hidup. Setiap hari, ia hanya bisa berkata dalam hati:   “Kami telah kehilangan kampung.” Ibunya berdiri menunggu di depan rumah. Punggungnya membungkuk sedikit, menahan beban saloi di punggung. Lama ia menunggu. Karena berat, saloi itu ia turunkan perlahan ke bangku kayu di teras. Satu per satu ia keluarkan isinya: gumala, nilon, air dalam gelong lima liter, dua parang, dan sebuah kuda-kuda kecil. “Mon… Bamoon, ayo, Nak… kau lama sekali,” serunya. “Sebentar, Bu. Aku masih terima telepon dari teman kuliah di Jakarta,” sahut Mon dari dalam kamar. “Sabar terus… ah, kau ini. Nanti matahari makin panas, angin kancang, laut gelombang,” keluh ibunya dalam nada Halmahera yang pekat. Sambil berkata, ia mengupas kulit pinang dengan pisau kecil. Pintu kamar diseret. Suaranya kasar. Mon muncul dengan wajah malas, melangkah ke depan. Ibunya menatap heran. “Hei, Mon… kita mau mancing di laut, bukan ke konda...

Putusnya Mata-rantai Pengetahuan Kampung

Oleh: Rahmat Marsaoly Ilustrasi Gambar Sumber: google, protesters ... Papa, k alo  torang   mo  tebang  pohon sagu untuk bikin sagu tumang ,  usia pohon  sagu  harus  berapa tahun?  Tanya  bagitu   n goni   mo  bikin sagu  kong ?   Dia p usia kurang  lebe  13-14 tahun baru bisa bikin.  Ngoni anak-anak sekarang  so  tra  poha  bikin ... Tintakampung.info- Kalimat itu adalah potongan percakapan saya dengan bapak saya. Jawabannya adalah sindiran yang lembut, tapi sarat makna. Ia menyingkap kenyataan menyedihkan yang sedang kita hadapi hari ini. Generasi kami—anak-anak kampung yang hidup di zaman ini—tak lagi akrab dengan pengetahuan dasar yang dulu menjadi warisan dan kebanggaan leluhur. Saya sendiri, dan barangkali banyak teman seangkatan, bahkan tak tahu pada usia berapa pohon sagu bisa dipanen. Pengetahuan itu, yang dulu tertanam kuat dalam hidup sehari-hari orang kampung, kin...

Azam dan Karang Harapan

Penulis: Iswandi Siawa Ilustrasi Azam dan Karang Harapan Tintakampung.info-  Sekolah deng tara sekolah sama saja cari makan. (Azam) Mabapura, seorang lelaki yang berusia anak padi, tumbuh di tengah kehidupan yang mencekam. Setelah berpindah dari negeri seberang [1] ke Mabapura, Azam hidup bersama dua pasangan suami istri [2] yang menjadikan Azam kokoh dan kuat menjalani hidup setiap harinya. Saat teman-temannya menyiapkan buku dan pena untuk meraih mimpi di bangku sekolah, lain hal dengan Azam yang harus menyiapkan mata kail serta alat mancing lainnya.  Kehidupan Azam begitu kompleks dengan lautan. Tempat ikan seputaran laut Mabapura hampir dikuasainya, bahkan waktu ikan datang dan pergi. Pagi, Azam telah bergegas ke ujung pelabuhan. Ia gantungkan harapan seorang diri di ujung mata kail setiap kali lemparan ke laut.   Ia seorang diri menyambut fajar dengan semangat keemasan yang menyelimuti pagi . Kesejukan laut Mabapura di pagi hari adalah ketenangan yang tiada tand...