Langsung ke konten utama

Pawai Obor Idulfitri di Desa Mabapura: Seruan Kemanusiaan dan Kritik Sosial

Penulis: Saiful Siawa
fOTO; Pawai obor malam takbiran Mabapura

TINTA KAMPUNG.INFOMinggu malam, 30 Maret 2025, Desa Mabapura di Kabupaten Halmahera Timur kembali dipenuhi cahaya dan gema takbir. Sekitar 200 obor dinyalakan oleh anak-anak dan pemuda desa dalam tradisi pawai obor menyambut Idulfitri 1446 H. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillah ilham” bergema menyayat malam, menjadi simbol kemenangan setelah sebulan penuh menjalani ibadah Ramadan.


Namun, tahun ini suasana takbiran terasa berbeda. Di antara barisan obor yang menyusuri jalan-jalan desa, terbentang sebuah spanduk sepanjang dua meter bertuliskan: “Hentikan Genosida di Gaza.” Aksi ini bukan sekadar perayaan, tetapi juga bentuk solidaritas terhadap penderitaan rakyat Palestina yang merayakan Idulfitri di bawah bayang-bayang kehancuran.


"Rakyat Palestina merayakan lebaran di tengah puing-puing. Ini adalah kezaliman yang nyata dari Netanyahu dan rezim zionis," ujar seorang pemuda Mabapura, dengan nada geram. Sementara peserta lain menyatakan, "Ramadan kali ini sangat berbeda. Tragedi di Gaza menggugah kami untuk tidak hanya berdoa, tetapi juga bersuara."


Pawai ini bukan hanya seruan kemanusiaan lintas batas, tetapi juga cermin kegelisahan sosial dalam negeri. Sejumlah pemuda mengusung baliho bertagar #CabutUUTNI dan #IndonesiaGelap, sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan yang dinilai mencederai demokrasi—khususnya wacana pelibatan TNI aktif dalam 16 kementerian. Mereka menyebutnya sebagai bentuk penghianatan terhadap semangat reformasi 1998 yang telah berhasil menghapuskan Dwifungsi ABRI di ranah sipil.


Pawai obor di Mabapura malam itu bukan hanya tradisi, tetapi juga panggung perlawanan simbolik terhadap ketidakadilan global dan nasional. Sebuah malam takbiran yang penuh cahaya, namun menyuarakan suara-suara dari mereka yang tak terdengar.

Postingan populer dari blog ini

Kehilangan Kampung

  Oleh : Rahmat Marsaoly Ilustrasi Cerpen. Oleh Canva AI Dalam kampung yang tak lagi hidup. Setiap hari, ia hanya bisa berkata dalam hati:   “Kami telah kehilangan kampung.” Ibunya berdiri menunggu di depan rumah. Punggungnya membungkuk sedikit, menahan beban saloi di punggung. Lama ia menunggu. Karena berat, saloi itu ia turunkan perlahan ke bangku kayu di teras. Satu per satu ia keluarkan isinya: gumala, nilon, air dalam gelong lima liter, dua parang, dan sebuah kuda-kuda kecil. “Mon… Bamoon, ayo, Nak… kau lama sekali,” serunya. “Sebentar, Bu. Aku masih terima telepon dari teman kuliah di Jakarta,” sahut Mon dari dalam kamar. “Sabar terus… ah, kau ini. Nanti matahari makin panas, angin kancang, laut gelombang,” keluh ibunya dalam nada Halmahera yang pekat. Sambil berkata, ia mengupas kulit pinang dengan pisau kecil. Pintu kamar diseret. Suaranya kasar. Mon muncul dengan wajah malas, melangkah ke depan. Ibunya menatap heran. “Hei, Mon… kita mau mancing di laut, bukan ke konda...

Putusnya Mata-rantai Pengetahuan Kampung

Oleh: Rahmat Marsaoly Ilustrasi Gambar Sumber: google, protesters ... Papa, k alo  torang   mo  tebang  pohon sagu untuk bikin sagu tumang ,  usia pohon  sagu  harus  berapa tahun?  Tanya  bagitu   n goni   mo  bikin sagu  kong ?   Dia p usia kurang  lebe  13-14 tahun baru bisa bikin.  Ngoni anak-anak sekarang  so  tra  poha  bikin ... Tintakampung.info- Kalimat itu adalah potongan percakapan saya dengan bapak saya. Jawabannya adalah sindiran yang lembut, tapi sarat makna. Ia menyingkap kenyataan menyedihkan yang sedang kita hadapi hari ini. Generasi kami—anak-anak kampung yang hidup di zaman ini—tak lagi akrab dengan pengetahuan dasar yang dulu menjadi warisan dan kebanggaan leluhur. Saya sendiri, dan barangkali banyak teman seangkatan, bahkan tak tahu pada usia berapa pohon sagu bisa dipanen. Pengetahuan itu, yang dulu tertanam kuat dalam hidup sehari-hari orang kampung, kin...

Azam dan Karang Harapan

Penulis: Iswandi Siawa Ilustrasi Azam dan Karang Harapan Tintakampung.info-  Sekolah deng tara sekolah sama saja cari makan. (Azam) Mabapura, seorang lelaki yang berusia anak padi, tumbuh di tengah kehidupan yang mencekam. Setelah berpindah dari negeri seberang [1] ke Mabapura, Azam hidup bersama dua pasangan suami istri [2] yang menjadikan Azam kokoh dan kuat menjalani hidup setiap harinya. Saat teman-temannya menyiapkan buku dan pena untuk meraih mimpi di bangku sekolah, lain hal dengan Azam yang harus menyiapkan mata kail serta alat mancing lainnya.  Kehidupan Azam begitu kompleks dengan lautan. Tempat ikan seputaran laut Mabapura hampir dikuasainya, bahkan waktu ikan datang dan pergi. Pagi, Azam telah bergegas ke ujung pelabuhan. Ia gantungkan harapan seorang diri di ujung mata kail setiap kali lemparan ke laut.   Ia seorang diri menyambut fajar dengan semangat keemasan yang menyelimuti pagi . Kesejukan laut Mabapura di pagi hari adalah ketenangan yang tiada tand...