Langsung ke konten utama

Penjara untuk Rakyat, Karpet Merah untuk Perusahaan

Oleh: Risandi Latawan

Ilustrasi

“Ketika pohon terakhir ditebang,
Ketika sungai terakhir dikeringkan,
Ketika ikan terakhir ditangkap,
Barulah manusia sadar bahwa uang tidak bisa dimakan.”
__Eric Weiner__

Kutipan di atas menjadi peringatan serius bagi Maluku Utara—hari ini, esok, dan dua dekade ke depan. Di bawah dalih pembangunan dan investasi strategis nasional, Maluku Utara perlahan kehilangan hakikatnya sebagai tanah adat dan wilayah kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai budaya leluhur. Hampir seluruh daratannya telah dijadikan sasaran ekspansi pertambangan. Tanah dijadikan komoditas; manusia dianggap gangguan.

Realitas ini menyimpan ironi yang pahit. Di satu sisi, masyarakat adat yang selama turun-temurun menjaga tanah dan hutan sebagai sumber kehidupan justru dikriminalisasi saat mempertahankan haknya. Di sisi lain, perusahaan tambang digelari karpet merah, didukung penuh oleh kekuasaan dan kekuatan bersenjata yang seharusnya netral.

Kerusakan ekologis yang ditinggalkan oleh industri ekstraktif tidak hanya menghancurkan lingkungan, tetapi juga mengoyak sendi-sendi kebudayaan lokal yang sakral. Bagi masyarakat adat di Maluku Utara, tanah bukan sekadar aset fisik, tetapi ruh kehidupan yang mengikat manusia, leluhur, dan alam dalam satu harmoni spiritual. Sayangnya, perspektif ini sama sekali tidak masuk dalam kalkulasi kapitalisme korporat.

Perusahaan tambang datang dengan satu misi: eksploitasi sebesar-besarnya. Tak ada ruang untuk etika ekologis, apalagi pengakuan atas hak masyarakat adat. Ketika masyarakat menolak, yang datang justru aparat bersenjata. Ketika mereka mempertanyakan legalitas operasi tambang, mereka dilabeli preman dan ditetapkan sebagai tersangka.

Lebih menyedihkan lagi, di saat masyarakat adat dikriminalisasi karena mempertahankan ruang hidupnya, pemerintah daerah Kab Halmahera Timut justru asyik berpesta memperingati hari jadi kabupaten. Tak ada sikap tegas, tak ada upaya pembelaan. Diamnya negara adalah bentuk persetujuan terhadap kekerasan sistemik yang dilakukan atas nama investasi.

Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur hingga kini belum mengambil langkah nyata untuk membebaskan warga yang ditahan. Ini adalah bukti telanjang bahwa negara hari ini lebih berpihak pada modal daripada pada rakyatnya sendiri. Negara telah menjelma menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan korporasi. Ia tak lagi hadir sebagai pelindung, tetapi justru sebagai pelaku dalam jaringan kejahatan yang sah secara hukum—namun cacat secara moral.

Inilah wajah republik yang retak: penjara untuk rakyat yang bersuara, karpet merah untuk para perusak bumi.*

Tulisan ini pernah dimuat dalam website www.Posttimur.com

Postingan populer dari blog ini

Kehilangan Kampung

  Oleh : Rahmat Marsaoly Ilustrasi Cerpen. Oleh Canva AI Dalam kampung yang tak lagi hidup. Setiap hari, ia hanya bisa berkata dalam hati:   “Kami telah kehilangan kampung.” Ibunya berdiri menunggu di depan rumah. Punggungnya membungkuk sedikit, menahan beban saloi di punggung. Lama ia menunggu. Karena berat, saloi itu ia turunkan perlahan ke bangku kayu di teras. Satu per satu ia keluarkan isinya: gumala, nilon, air dalam gelong lima liter, dua parang, dan sebuah kuda-kuda kecil. “Mon… Bamoon, ayo, Nak… kau lama sekali,” serunya. “Sebentar, Bu. Aku masih terima telepon dari teman kuliah di Jakarta,” sahut Mon dari dalam kamar. “Sabar terus… ah, kau ini. Nanti matahari makin panas, angin kancang, laut gelombang,” keluh ibunya dalam nada Halmahera yang pekat. Sambil berkata, ia mengupas kulit pinang dengan pisau kecil. Pintu kamar diseret. Suaranya kasar. Mon muncul dengan wajah malas, melangkah ke depan. Ibunya menatap heran. “Hei, Mon… kita mau mancing di laut, bukan ke konda...

Putusnya Mata-rantai Pengetahuan Kampung

Oleh: Rahmat Marsaoly Ilustrasi Gambar Sumber: google, protesters ... Papa, k alo  torang   mo  tebang  pohon sagu untuk bikin sagu tumang ,  usia pohon  sagu  harus  berapa tahun?  Tanya  bagitu   n goni   mo  bikin sagu  kong ?   Dia p usia kurang  lebe  13-14 tahun baru bisa bikin.  Ngoni anak-anak sekarang  so  tra  poha  bikin ... Tintakampung.info- Kalimat itu adalah potongan percakapan saya dengan bapak saya. Jawabannya adalah sindiran yang lembut, tapi sarat makna. Ia menyingkap kenyataan menyedihkan yang sedang kita hadapi hari ini. Generasi kami—anak-anak kampung yang hidup di zaman ini—tak lagi akrab dengan pengetahuan dasar yang dulu menjadi warisan dan kebanggaan leluhur. Saya sendiri, dan barangkali banyak teman seangkatan, bahkan tak tahu pada usia berapa pohon sagu bisa dipanen. Pengetahuan itu, yang dulu tertanam kuat dalam hidup sehari-hari orang kampung, kin...

Azam dan Karang Harapan

Penulis: Iswandi Siawa Ilustrasi Azam dan Karang Harapan Tintakampung.info-  Sekolah deng tara sekolah sama saja cari makan. (Azam) Mabapura, seorang lelaki yang berusia anak padi, tumbuh di tengah kehidupan yang mencekam. Setelah berpindah dari negeri seberang [1] ke Mabapura, Azam hidup bersama dua pasangan suami istri [2] yang menjadikan Azam kokoh dan kuat menjalani hidup setiap harinya. Saat teman-temannya menyiapkan buku dan pena untuk meraih mimpi di bangku sekolah, lain hal dengan Azam yang harus menyiapkan mata kail serta alat mancing lainnya.  Kehidupan Azam begitu kompleks dengan lautan. Tempat ikan seputaran laut Mabapura hampir dikuasainya, bahkan waktu ikan datang dan pergi. Pagi, Azam telah bergegas ke ujung pelabuhan. Ia gantungkan harapan seorang diri di ujung mata kail setiap kali lemparan ke laut.   Ia seorang diri menyambut fajar dengan semangat keemasan yang menyelimuti pagi . Kesejukan laut Mabapura di pagi hari adalah ketenangan yang tiada tand...