𝗕𝗲𝗹𝗮𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝗦𝗮𝗻𝗴𝗮𝗷𝗶

 Penulis: M Said Marsaoly

Ilustrasi Kali Sangaji, oleh M Said Marsaoly

Tintakampung.info- Ada pohon pala di sana. Ratusan hektar. Ada gaharu yang harum diam-diam, tumbuh tanpa gembar-gembor di tubuh belantara. Di antara batang-batang yang diam itu, juga ada tulang-belulang yang tidak bersuara. 


Tulang manusia, situs sejarah. Barangkali seorang tetua yang tak dikenal namanya, tapi barangkali menyimpan kisah yang bisa menjelaskan siapa kita.


Namun pohon, tulang, dan aroma sunyi itu tidak masuk dalam peta. Tidak di atas meja para perencana pembangunan. Yang dipetakan adalah nikel, dan logam-logam lainnya yang bercahaya dalam laporan investasi.


Kali Sangaji telah keruh. Ia mengalir, tapi tidak lagi membawa kehidupan. Di hulunya, mesin-mesin menggali bumi seperti mencabut urat nadi. Di tepinya, rakyat hanya bisa berdiri: kadang mematung, kadang menjerit, tapi tak terdengar. Di sana, ada nama-nama besar: PT. Position, Weda Bay Nickel, PT. WKM, dan lainnya. Nama-nama yang tidak dikenal anak-anak sekolah dasar, tapi menguasai halaman depan hidup mereka.


Ketika rakyat mencoba menjaga pohon-pohon itu, mereka dianggap pengganggu. Ketika mereka bertanya siapa yang memberi izin, jawabannya datang dari jauh: “Pemerintah Pusat.” Seolah pusat adalah matahari yang tak bisa ditatap, tak bisa ditolak. Dan aparat pun datang.


Barangkali inilah saatnya kita bertanya: untuk siapa negara ini hadir? Dalam dokumen resmi, hutan itu disebut “kawasan hutan negara”. Tapi negara yang mana? Negara yang mengenal akar, atau yang hanya mengenal angka? Negara yang tahu sejarah, atau yang hanya mencatat cadangan tambang?


Rakyat berdiri di tengah hujan, menahan tubuh mereka dari lumpur dan kekerasan. Mereka tidak membawa senjata. Mereka membawa ingatan: tentang leluhur yang dulu menanam pala, tentang pohon gaharu yang begitu mahal, tentang sungai yang dulu jernih dan bisa diminum langsung dari telapak tangan.


Tapi ingatan tidak sah di mata hukum. Yang sah adalah izin. Dan izin, seperti biasa, datang dari tempat yang jauh dan dingin.


Saya kira ini bukan soal tambang. Ini bukan soal berapa juta dolar masuk ke kas negara. Ini soal cara kita memandang tanah. Apakah tanah itu hanya permukaan yang bisa keruk, ataukah ia tubuh tempat kita berpijak, tempat kita menanam, tempat anak-anak kita akan berjalan dan bertanya: "dulu ini apa?"


Dan mungkin tak ada lagi yang bisa menjawab. Karena yang tertinggal hanya lubang. Hutan itu telah dibungkam, seperti rakyat yang dijaga Brimob. Dan dari lubang itu, kita tidak bisa mendengar suara apa-apa. Bahkan gema pun tidak.


Jika negara datang untuk merampas, lalu siapa yang akan datang untuk pelindung?

Diberdayakan oleh Blogger.