Langsung ke konten utama

Postingan

Halmahera Pascakolonial

Oleh:  M Said Marsaoly Apa itu pascakolonial? Bagi sebagian pembaca, istilah ini mungkin terlalu akademik dan jauh dari pemahaman sehari-hari. Namun sesungguhnya, pascakolonial tak hanya label sejarah setelah penjajahan, melainkan cara melihat bagaimana warisan kolonial masih hidup dalam tubuh negara Merdeka—dalam cara berpikir, cara mengelola kekuasaan, hingga cara memperlakukan rakyatnya sendiri. Melalui pendekatan pascakolonial, tulisan sederhana ini berupaya membaca geliat industri ekstraktif di Pulau Halmahera yang tak meluluh soal ekonomi atau pembangunan, melainkan sebagai kelanjutan dari pola penjajahan yang kini menjelma dalam wajah baru: tambang, investasi, dan janji kesejahteraan. Di balik jargon “hilirisasi”, “ekonomi hijau”, dan “kebangkitan industri nasional”, bentang alam Halmahera—dari pesisirnya yang rapuh, pulau-pulau kecil seperti Gei, Pakal, Mabuli, Gebe hingga sungai-sungai purba sebut saja Kali Sangaji dan Sagea yang menyimpan kisah leluhur—mengalami kerusakan...

Peta yang Menyesatkan

Oleh: M Said Marsaoly "𝐾𝑖𝑡𝑎 ℎ𝑎𝑟𝑢𝑠 𝑏𝑒𝑟ℎ𝑒𝑛𝑡𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑐𝑎𝑦𝑎 𝑏𝑎ℎ𝑤𝑎 𝑝𝑒𝑡𝑎 𝑑𝑖 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑖𝑛𝑣𝑒𝑠𝑡𝑜𝑟 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ ℎ𝑢𝑘𝑢𝑚. 𝐾𝑖𝑡𝑎 ℎ𝑎𝑟𝑢𝑠 𝑚𝑢𝑙𝑎𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑐𝑎𝑦𝑎 𝑏𝑎ℎ𝑤𝑎 𝑗𝑒𝑗𝑎𝑘 𝑘𝑎𝑘𝑖 𝑑𝑖 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ, 𝑖𝑟𝑎𝑚𝑎 𝑘𝑎𝑚𝑝𝑢𝑛𝑔, 𝑑𝑎𝑛 𝑝𝑜ℎ𝑜𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ 𝑑𝑖𝑎𝑚-𝑑𝑖𝑎𝑚 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑢𝑡𝑢ℎ." Di Jakarta, satu dokumen ditandatangani. Disebut Izin Usaha Pertambangan. Di dalamnya, terlampir selembar peta dari kertas. Garis-garis digital. Titik koordinat. Warna-warna blok. Tapi peta itu, sesungguhnya tak pernah mengenal Halmahera. Ia hanya membayangkannya. Ia tak tahu letak pohon pala yang ditanam kakek, tak tahu suara udang yang berenang di Sungai Sangaji, tak tahu di mana rusa menyeberang saat musim datang. Ia tak kenal belantara, hanya batas wilayah. Ia tak paham kesunyian hutan, hanya bicara soal produksi. Henri Lefebvre, seorang filsuf dan penulis asal Prancis, pernah menulis bahwa rua...

Menuju Kota

Oleh:  Julhidayat Latawan Ilustrasi "Mereka yang berada di dalam mobil berpelat merah tidak akan merasakan apa yang dirasakan oleh pengendara roda dua saat berkendara menuju kota . " Jalan berdebu dan licin, di mana ketika hujan, debu berubah menjadi becek, dan saat panas, becek kembali menjadi debu. Pemandangan seperti ini sudah biasa saya saksikan. Hampir setiap hari berkendara menuju kota membuat saya merasa cemas, bukan karena lelah atau bosan, tetapi karena pemandangan yang kotor dan tidak beraturan. Jalan rusak yang diperbaiki oleh para pekerja pengaspal terlihat hanya mementingkan keuntungan besar tanpa memikirkan kenyamanan pengendara.  Misalnya, batas antara aspal lama dan yang baru terasa seperti menaiki polisi tidur. Setelah melewati batas aspal baru, terdapat lubang besar pada aspal lama dengan jarak sekitar dua meter. Dalam hati saya bertanya, mengapa ini tidak sekalian diperbaiki? Padahal jaraknya begitu dekat. Saya bergumam, "Oh, mungkin anggarannya hanya ...

Inspirasi Khomeini

Oleh:  Mohammad Haekal "Katakan kepada Gorbachev, saya ingin menunjukkan kepadanya suatu ufuk yang tak terbatas." Kami benar-benar tersesat. Hidup di zaman dipenuhi hasrat materi dan egoisme. Kami tak tahu apa tujuan hidup ini, apalagi bagaimana menjadi manusia sejati. Ekspansi budaya ekonomi Barat yang beralas kapitalisme merasuk hingga ke dalam rumah-rumah kami. Akibatnya, kami kehilangan tempat berpulang, kehilangan jati diri, kehilangan cinta, dan kasih sayang. Banyak keluarga kehilangan kehangatan rumah tangga karena tatanan sosial yang kian buruk. Tak ada sosok yang bisa dijadikan teladan dan panutan, sebab hampir semua orang hidup dalam kepalsuan dan hanya mementingkan kepentingan sendiri. Kita semua terjebak dalam kegelapan modernisme—dipaksa untuk saling memeras, saling menindas. Tak sedikit dari kita yang merasa bahwa mengakhiri hidup lebih baik daripada menjalaninya, karena kehidupan terasa begitu perih dan menyakitkan. Dunia tak benar-benar peduli pada kita. Hati ...

Azam dan Karang Harapan

Penulis: Iswandi Siawa Ilustrasi Azam dan Karang Harapan Tintakampung.info-  Sekolah deng tara sekolah sama saja cari makan. (Azam) Mabapura, seorang lelaki yang berusia anak padi, tumbuh di tengah kehidupan yang mencekam. Setelah berpindah dari negeri seberang [1] ke Mabapura, Azam hidup bersama dua pasangan suami istri [2] yang menjadikan Azam kokoh dan kuat menjalani hidup setiap harinya. Saat teman-temannya menyiapkan buku dan pena untuk meraih mimpi di bangku sekolah, lain hal dengan Azam yang harus menyiapkan mata kail serta alat mancing lainnya.  Kehidupan Azam begitu kompleks dengan lautan. Tempat ikan seputaran laut Mabapura hampir dikuasainya, bahkan waktu ikan datang dan pergi. Pagi, Azam telah bergegas ke ujung pelabuhan. Ia gantungkan harapan seorang diri di ujung mata kail setiap kali lemparan ke laut.   Ia seorang diri menyambut fajar dengan semangat keemasan yang menyelimuti pagi . Kesejukan laut Mabapura di pagi hari adalah ketenangan yang tiada tand...

Pesan Moral Puasa

Oleh:  M Said Marsaoly Ilustrasi Pesan Moral Puasa Setiap ibadah yang kita lakukan sebetulnya merupakan latihan untuk mendidik nilai moral tertentu. Baik ibadah puasa atau ibadah lainnya, di dalamnya terkandung pesan moral. Bahkan, begitu mulianya pesan moral ini, sampai Rasulullah Saw. menilai 'harga' suatu ibadah itu dari sejauh mana kita menjalankan pesan moralnya. Apabila ibadah itu tidak meningkatkan akhlak kita, Rasulullah menganggap bahwa ibadah itu tidak bermakna. Dengan kata lain, kita tidak melaksanakan pesan moral ibadah itu. Seseorang bisa saja melakukan ibadah puasa. Dia sanggup mematuhi seluruh ketentuan fiqih, tetapi dia sering tidak sanggup mewujudkan seluruh pesan moral ibadah puasa itu. Rasulullah bersabda: "Banyak sekali orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga." Sekali lagi, semua ajaran Islam mengandung pesan moral. Dan pesan moral itulah yang saya pikir dipandang sangat penting di dalam Islam. Mengapa Islam m...

Apa Pentingnya Menulis?

Penulis: Rahmat Marsaoly Ilustrasi Apa Pentingnya Menulis Tintakampung.info-  Refleksi ini ditulis di sebuah pagi, saat jalanan Malabar basah oleh rintik hujan, pada Januari 2016 di Kota Bogor. Bersama beberapa teman sekampung, kami mengikuti sebuah kelas menulis, dengan seorang penulis perempuan, Muntaza. Taza, begitu ia disapa. Di dalam ruangan itu, Taza memulai kelas menulisnya dengan sebuah pertanyaan: apakah menulis itu dan mengapa harus menulis? Awalnya, kami disuruh menjawab pertanyaan itu dengan menggambar dan kemudian menulis. Entah kami akan menjawabnya dengan menggambar apa, atau menulis dengan sepuas-puasnya, terserah, yang terpenting   gambaran maupun tulisan kita dapat menjawab pertanyaan di atas. Tulisan ini adalah jawaban saya atas pertanyaan tersebut.   Saya mulai penasaran terhadap menulis. Pertanyaan mengenai menulis muncul kait-berkait tiada henti hingga saat ini. Memang, menulis itu sendiri baru saja saya lakoni, baru memulainya. Saya baru belaja...