Langsung ke konten utama

Pesan Moral Puasa

Oleh: M Said Marsaoly
Ilustrasi Pesan Moral Puasa

Setiap ibadah yang kita lakukan sebetulnya merupakan latihan untuk mendidik nilai moral tertentu. Baik ibadah puasa atau ibadah lainnya, di dalamnya terkandung pesan moral. Bahkan, begitu mulianya pesan moral ini, sampai Rasulullah Saw. menilai 'harga' suatu ibadah itu dari sejauh mana kita menjalankan pesan moralnya. Apabila ibadah itu tidak meningkatkan akhlak kita, Rasulullah menganggap bahwa ibadah itu tidak bermakna. Dengan kata lain, kita tidak melaksanakan pesan moral ibadah itu.

Seseorang bisa saja melakukan ibadah puasa. Dia sanggup mematuhi seluruh ketentuan fiqih, tetapi dia sering tidak sanggup mewujudkan seluruh pesan moral ibadah puasa itu. Rasulullah bersabda:"Banyak sekali orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga."

Sekali lagi, semua ajaran Islam mengandung pesan moral. Dan pesan moral itulah yang saya pikir dipandang sangat penting di dalam Islam. Mengapa Islam menekankan prinsip moral itu? Mengapa Islam menekankan prinsip akhlak itu? Karena kedatangan Rasulullah Saw. bukan hanya mengajarkan zikir dan doa. Nabi tegas mengatakan bahwa misinya ialah untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Lalu, apa yang menjadi pesan moral ibadah puasa? Salah satu pesan moral yang utama dalam ibadah puasa adalah supaya kita menjaga diri dari memakan sembarang makanan. Bahkan makanan yang halal pun tidak boleh kita makan sebelum datang waktunya yang tepat. Jadi, jangan sembarang makan. Jangan makan asal saja. Kita harus memperhatikan apa yang kita makan itu. Sayyidina ‘Ali pernah berkata, "Jangan jadikan perutmu sebagai kuburan hewan." Maksudnya, kita tidak boleh memakan daging terlalu banyak, apalagi diperolehnya dengan cara yang tidak halal.

Pesan moral Ramadhan adalah agar kita tidak menjadikan perut kita sebagai kuburan orang lain. Jangan jadikan perut Anda sebagai kuburan orang kecil. Jangan pindahkan tanah dan ladang milik mereka ke perut Anda. Itulah pesan moral Ramadhan, yang menurut saya, relevan dengan kondisi saat ini. Ketika kita dikejar-kejar oleh konsumtivisme (senang berpesta dan berbelanja barang yang tidak bermanfaat) dan dikejar-kejar untuk meningkatkan status sosial, tidak jarang kita berani memakan hak orang lain.
Tidak cukup hanya sampai di situ. Ibadah puasa juga mengajarkan bahwa walaupun harta itu milik kita, kita tidak boleh memakannya sendiri. Saya ingin mengutip lagi ucapan Imam ‘Ali bin Abi Thalib
"Tidak pernah aku melihat ada orang yang memperoleh harta yang berlimpah kecuali di sampingnya ada hak orang lain yang ia sia-siakan."

Kita tidak usah menjadi Marxis untuk menyadari bahwa keuntungan yang berlimpah ruah dimiliki orang-orang kaya yang tinggal di negara-negara miskin, misalnya, karena upah buruh yang murah sehingga si pemilik perusahaan memperoleh keuntungan yang besar.
Seandainya kita memperoleh gaji yang tinggi, di dalam Islam, kita tidak boleh memakan semua yang kita terima walaupun itu hasil jerih payah kita sendiri. Bagi yang mempunyai gaji yang berlebih, ia mempunyai tanggung jawab untuk menyantuni orang miskin. Puasa tidak akan bermakna apa-apa sebelum kita memberikan perhatian yang tulus kepada orang-orang yang menderita di sekitar kita. Ini pesan moral ibadah puasa.
Kalau seseorang puasanya cacat, atau puasanya batal, atau melakukan hal-hal yang dilarang dalam ketentuan fiqih, maka tebusannya adalah menjalankan pesan moral puasa itu. Misalnya, pada bulan Ramadhan, sepasang suami-istri bercampur pada siang hari, kifaratnya ialah memberi makan enam puluh orang miskin. Orang yang tidak sanggup berpuasa, di dalam Al-Quran, diharuskan mengeluarkan fidyah buat orang-orang miskin. Memperhatikan orang-orang lapar dan menyantuni fakir miskin adalah pesan moral puasa.

Postingan populer dari blog ini

Kehilangan Kampung

  Oleh : Rahmat Marsaoly Ilustrasi Cerpen. Oleh Canva AI Dalam kampung yang tak lagi hidup. Setiap hari, ia hanya bisa berkata dalam hati:   “Kami telah kehilangan kampung.” Ibunya berdiri menunggu di depan rumah. Punggungnya membungkuk sedikit, menahan beban saloi di punggung. Lama ia menunggu. Karena berat, saloi itu ia turunkan perlahan ke bangku kayu di teras. Satu per satu ia keluarkan isinya: gumala, nilon, air dalam gelong lima liter, dua parang, dan sebuah kuda-kuda kecil. “Mon… Bamoon, ayo, Nak… kau lama sekali,” serunya. “Sebentar, Bu. Aku masih terima telepon dari teman kuliah di Jakarta,” sahut Mon dari dalam kamar. “Sabar terus… ah, kau ini. Nanti matahari makin panas, angin kancang, laut gelombang,” keluh ibunya dalam nada Halmahera yang pekat. Sambil berkata, ia mengupas kulit pinang dengan pisau kecil. Pintu kamar diseret. Suaranya kasar. Mon muncul dengan wajah malas, melangkah ke depan. Ibunya menatap heran. “Hei, Mon… kita mau mancing di laut, bukan ke konda...

Putusnya Mata-rantai Pengetahuan Kampung

Oleh: Rahmat Marsaoly Ilustrasi Gambar Sumber: google, protesters ... Papa, k alo  torang   mo  tebang  pohon sagu untuk bikin sagu tumang ,  usia pohon  sagu  harus  berapa tahun?  Tanya  bagitu   n goni   mo  bikin sagu  kong ?   Dia p usia kurang  lebe  13-14 tahun baru bisa bikin.  Ngoni anak-anak sekarang  so  tra  poha  bikin ... Tintakampung.info- Kalimat itu adalah potongan percakapan saya dengan bapak saya. Jawabannya adalah sindiran yang lembut, tapi sarat makna. Ia menyingkap kenyataan menyedihkan yang sedang kita hadapi hari ini. Generasi kami—anak-anak kampung yang hidup di zaman ini—tak lagi akrab dengan pengetahuan dasar yang dulu menjadi warisan dan kebanggaan leluhur. Saya sendiri, dan barangkali banyak teman seangkatan, bahkan tak tahu pada usia berapa pohon sagu bisa dipanen. Pengetahuan itu, yang dulu tertanam kuat dalam hidup sehari-hari orang kampung, kin...

Azam dan Karang Harapan

Penulis: Iswandi Siawa Ilustrasi Azam dan Karang Harapan Tintakampung.info-  Sekolah deng tara sekolah sama saja cari makan. (Azam) Mabapura, seorang lelaki yang berusia anak padi, tumbuh di tengah kehidupan yang mencekam. Setelah berpindah dari negeri seberang [1] ke Mabapura, Azam hidup bersama dua pasangan suami istri [2] yang menjadikan Azam kokoh dan kuat menjalani hidup setiap harinya. Saat teman-temannya menyiapkan buku dan pena untuk meraih mimpi di bangku sekolah, lain hal dengan Azam yang harus menyiapkan mata kail serta alat mancing lainnya.  Kehidupan Azam begitu kompleks dengan lautan. Tempat ikan seputaran laut Mabapura hampir dikuasainya, bahkan waktu ikan datang dan pergi. Pagi, Azam telah bergegas ke ujung pelabuhan. Ia gantungkan harapan seorang diri di ujung mata kail setiap kali lemparan ke laut.   Ia seorang diri menyambut fajar dengan semangat keemasan yang menyelimuti pagi . Kesejukan laut Mabapura di pagi hari adalah ketenangan yang tiada tand...