Oleh: PercikanAPI
Pertama-tama, kami membuka padangan kami, ide dan gagasan kami, tentang karikatur kebudayaan Abad Pertengahan yang masih bertahan di sebagian dunia kapitalisme yang sedang sekarat ini. Kita melihat di beberapa titik pedesaan, sebagian masih mempertahankan budaya, adat, dan warisan tertentu dari masyarakat lama. Masyarakat Pertengahan, masyarakat yang berhamba di hadapan seseorang yang memiliki kuasa, di saat itu sebagai raja (Wakil Tuhan) di muka bumi. Di pedesaan, kebiasaan dan tingkah laku orang-orang, masih menaruh kepercayaan besar pada seseorang yang menempati posisi struktural tradisional di masyarakat tersebut. Kebenaran diterima karena orang ini tokoh agama, tetua adat, atau kepala suku tanpa mereka melihat lebih jauh apa-yang-diyakini sebagai kebenaran itu.
Tentu yang terekspresi di sini adalah otoritas untuk mengungkung, untuk menundukan berdasarkan kepentingan tuan feodal yang berkuasa atas tanah pada masa kejayaannya di Abad Pertengahan. Raja dianggap suci, menjadi wakil Tuhan atas tanah-tanah yang ada di muka bumi. Dia berhak atas segala-galanya dan sepenuh-penuhnya. Karena raja inilah yang di untungkan dalam sistem ekonomi semacam itu. Jadi yang berkembang di sini adalah logika mistika, logika yang menempatkan sesuatu yang adi-kodrati sebagai tumpuan atas kebenaran. Percaya setiap rintangan, cobaan bahkan kematian disebabkan karena takdir, dan penyelesaian dari setiap masalah dengan pergi ke dukun, percaya jampi-jampi dan lain sebagiannya. Kepercayaan seperti ini masih bertahan juga di periode masyarakat kapitalisme dalam berbagai karikatur perkembangannya.
Secara umum, dalam skala dunia, feodalisme telah dihancurkan oleh kelahiran masyarakat baru yang menggantikannya. Ini berhubungan dengan kelahiran kapitalisme, sistem sosio-ekonomi yang progresif di masa mudanya. Salah satu tiupan terompet besar kelahirannya, berlangsung pada 1789, dalam Revolusi Perancis yang mengumumkan slogan ‘agung’ tentang “Kebebasan, Persaudaran, dan Kesetaraan”. Ledakan Revolusi Perancis mengakhiri kebesaran feodalisme Eropa dan menggantikannya dengan masyarakat kapitalis yang lebih fleksibel dan liberal dibandingkan dengan masyarakat udik sebelumnya.
Pada masyarakat feodal, ekonomi berpusat pada kepemilikan tanah sebagai sumber utama kekayaan dan kekuasaan. Tanah dikuasai oleh para bangsawan dan tuan tanah, sementara para petani—sering disebut kaum serf—terikat pada wilayah tempat mereka bekerja. Petani tidak memiliki tanah secara pribadi; mereka hanya diberikan hak untuk menggarap sebagian kecil lahan sebagai imbalan atas kewajiban membayar upeti, pajak hasil panen, serta bekerja untuk tuan tanah. Kondisi ini membuat hubungan produksi sangat hierarkis dan hampir seluruh surplus ekonomi dikuasai tuan feodal.
Dalam struktur sosial feodal, kehidupan ekonomi dipengaruhi kuat oleh logika mistik yang mengalir dari ajaran gereja dan tradisi abad pertengahan. Legitimasi kekuasaan bangsawan sering dianggap berasal dari kehendak ilahi, sehingga hubungan antara tuan tanah dan tani hamba diterima sebagai sesuatu yang “wajar” dan tidak dapat diganggu gugat. Pandangan mistik ini juga menghambat perkembangan inovasi sosio-ekonomi karena segala sesuatu dipandang melalui kacamata dogma, bukan rasio. Akibatnya, aktivitas produksi dan perdagangan berjalan lambat, lebih banyak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan lokal dan tidak berkembang menjadi ekonomi pasar yang luas dalam skala nasional dan internasional.
Namun, perubahan mulai muncul ketika perdagangan jarak jauh tumbuh, kota-kota berkembang, dan kelas pedagang (borjuis awal–burgher) mulai mengumpulkan kekayaan. Interaksi dengan berbagai wilayah dan budaya memperkenalkan cara berpikir baru yang lebih rasional dan duniawi, melemahkan otoritas mistis yang sebelumnya mendominasi masyarakat feodal. Mobilitas barang, modal, dan tenaga kerja mulai meningkat, menciptakan kondisi yang tidak lagi sepenuhnya dapat dikontrol oleh struktur feodal dan gereja. Transisi menuju masyarakat kapitalistik awal terjadi ketika sistem ekonomi mulai bergeser dari hubungan produksi berbasis kewajiban feodal menjadi hubungan pasar yang berorientasi keuntungan. Para pekerja tradisional yang sebelumnya terikat pada tanah mulai berubah menjadi pekerja bebas yang menjual jasanya: buruh upahan, pekerja modern. Tanah perlahan diperlakukan sebagai komoditas yang dapat dipindah tangankan, bukan lagi hak turun-temurun. Proses ini membuka jalan bagi berkembangnya kapitalisme awal, ditandai dengan sistem upah, akumulasi modal, serta munculnya perusahaan-perusahaan dagang yang menjadi cikal bakal ekonomi modern.
Tan Malaka dalam “Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika)” mengajak masyarakat Indonesia keluar dari cara berpikir mistis yang ia sebut sebagai “logika mistik”—yaitu pola pikir yang menerima sesuatu tanpa bukti, tanpa analisis rasional, dan cenderung berserah pada kekuatan gaib, tradisi, atau otoritas. Logika ini terbentuk dari sejarah panjang masyarakat feodal serta struktur sosial yang menekankan kepatuhan pada penguasa feodal dan kekuatan supranatural. Hingga hari ini, jejak cara berpikir tersebut masih sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama ketika menghadapi persoalan ekonomi dan politik.
Dalam konteks kapitalisme modern, logika mistik tersebut tidak hilang-justru bertransformasi menjadi alat kontrol baru, diadopsi menjadi salah satu persenjataan di gudang senjata kapitalisme–terutama oleh kelas borjuasi di negeri-negeri Dunia Ketiga. Kapitalisme di Indonesia bekerja bukan hanya melalui mekanisme pasar, akumulasi modal, dan pertahanan umum atas kepemilikan alat produksi, tetapi juga lewat penggunaan simbol-simbol budaya, mitos-mitos manusia modern, citra dan narasi emosionalitas yang vulgar. Banyak keputusan ekonomi masyarakat, seperti konsumsi, gaya hidup, atau memilih pekerjaan, bukan didasarkan pada kesadaran material atau analisis logis, tetapi pada ilusi status sosial, ketakutan akan dianggap berbeda, atau tekanan budaya-komunitas. Tan Malaka menyebut kondisi seperti ini sebagai masyarakat yang masih “terkungkung oleh kabut logika lama”, meskipun hidup dalam struktur ekonomi masyarakat modern.
Kritik materialisme terhadap idealisme, lebih-lebih di sini logika mistika, seperti yang dipaparkan Engels, “menjadi relevan ketika kita melihat masyarakat Indonesia kontemporer yang masih sarat dengan logika mistika dan warisan feodalisme dalam kebudayaan.” Dalam konteks ini, pandangan idealis yang menempatkan ‘pikiran’, ‘kesucian batin’, atau ‘nilai-nilai luhur’ di atas kenyataan material sering berwujud dalam kepercayaan terhadap kekuatan supranatural, hirarki sosial yang dianggap ‘kodrati’, serta glorifikasi terhadap simbol-simbol status dan tradisi tanpa mempertanyakan basis ekonominya.
Dalam masyarakat kapitalis yang sedang runtuh ini, sisa-sisa budaya feodal dari masa lalu tidak tersapu bersih sepenuhnya; justru, ia berpadu dengan logika kapitalisme di mana mistisisme, spiritualisme, dan ‘budaya luhur’ dikomodifikasi. Fenomena ini menunjukkan bagaimana pandangan dunia idealisme yang irasional dan vulgar dapat berfungsi sebagai ideologi yang melanggengkan puing-puing keterbelakangan masyarakat terdahulu di tengah sistem ekonomi yang baru.
Dari sudut pandang filsafat materialisme, yang mengalir dari pemikiran Marx dan Engels, struktur kesadaran (termasuk logika mistika dan sistem nilai) selalu lahir dari kondisi material kehidupan, dari corak produksi dan pertukaran yang menguasai masyarakat. Ketika masyarakat Indonesia masih memelihara feodalisme dalam bentuk penghormatan buta pada status sosial, jabatan, dan kharisma tokoh, maka itu bukan sekadar masalah mentalitas, melainkan cerminan dari basis material yang belum merata, ketidakmerataan perkembangan historis dan birokrasi burjuasi yang terbelakang yang sudah tidak dapat memainkan peran progresif dalam menuntaskan revolusi demokratik. Idealisme yang menolak melihat akar material ini justru menjadi alat ideologis untuk mempertahankan sisa-sisa kebudayaan feodal, karena ia menutupi kontradiksi sosial di balik ‘harmoni budaya’ dan ‘kebersamaan adat’ yang begitu naif.
Serangan terhadap cara hidup modern; seperti kritik terhadap konsumerisme, gaya hidup hedonistik, atau krisis moral sering datang dari sudut pandang idealis, yang memisahkan perkembangan ide dari obyektivitas hubungan sosial dan struktur ekonomi. Namun materialisme menegaskan bahwa degradasi moral bukanlah akibat dari hilangnya ‘jiwa’ atau ‘spiritualitas’, melainkan konsekuensi dari sistem kapitalisme itu sendiri yang menundukkan nilai-nilai kemanusiaan pada logika akumulasi modal. Dalam kerangka ini, tugas filsafat bukan menjaga ‘kesucian ide’, tetapi membongkar hubungan antara kesadaran dan realitas material: mengapa masyarakat masih tunduk pada simbol dan mitos feodal di tengah modernitas digital, dan bagaimana ide-ide itu mempertahankan ketimpangan sosial. Dengan demikian, kritik materialisme terhadap idealisme bukan hanya teoretis, tetapi juga politis — menuntut pembebasan manusia dari belenggu ilusi yang menutupi kondisi material kehidupannya.
Di bidang politik, feodalisme yang dulu diwarnai perebutan tanah dan supremasi antar-kerajaan kini diadopsi oleh kelas borjuasi yang terbelakang dalam perebutan sumber daya ekonomi melalui institusi negara dan demokrasi yang luar biasa terbirokratisasi. Pertarungan politik borjuis dalam pemilu hari ini telah jauh berkembang daripada perang kerajaan masa lalu, aktornya sekarang adalah para penguasa masyarakat yang memperebutkan akses terhadap proyek strategis, tanah, dan hak istimewa atas beragam modal yang ada. Tan Malaka dalam Madilog mengkritik keras pola pikir menerima otoritas tanpa pertanyaan. Ia menegaskan bahwa masyarakat hanya dapat membebaskan diri dari dominasi kelas berkuasa bila berani berpikir rasional, kritis, dan ilmiah. Dan semua ini hanya dipelajari secara memadai dalam organisasi revolusioner yang dipandu oleh Sosialisme Ilmiah.
Pada akhirnya, relevansi Madilog dengan masyarakat kapitalistik Indonesia saat ini terletak pada seruannya untuk membangun masyarakat yang sadar-kelas dan terorganisir kuat dalam memperjuangkan kehidupan baru. Hidup dalam masyarakat kapitalis tanpa dipersenjatai dengan teori yang paling maju dan memiliki kesadaran revolusioner hanya akan mempertahankan sisa-sisa dari masyarakat lama. Untuk keluar dari jeratan inilah Tan Malaka menerangkan bahwa laki-laki dan perempuan yang sedang bangkit perlu berpikir dengan materialisme (melihat fakta material yang konkret apa adanya), dialektika (memahami hukum perubahan dan kontradiksinya), dan logika (menyusun argumen secara benar sesuai dengan kebutuhan perkembangan umat manusia). Dengan demikian, Madilog bukan hanya kritik masa lalu, tetapi juga peta jalan menuju dunia baru dari masyarakat manusia yang lebih maju.
Masyarakat Masa Depan yang Kami Cita-Citakan
Pertanyaan: “masyarakat seperti apa yang kami cita-citakan?” Menurut filsafat materialisme dialektika-historis tidak dapat dijawab dengan romantisme moral atau utopia spiritual, melainkan dengan memahami hukum objektif perkembangan masyarakat itu sendiri. Karl Marx dan Friedrich Engels melalui “Manifesto Komunis”, menegaskan bahwa sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas, dan setiap tahap peradaban ditentukan oleh bentuk hubungan produksi yang mendasarinya. Dengan demikian, masyarakat yang dicita-citakan bukanlah ‘masyarakat ideal’ dalam pengertian idealisme, tetapi hasil dari perubahan material dalam penghancura sistem produksi yang menindas ini menuju sistem sosio-ekonomi dan sosio-historis yang membebaskan perkembangan kekuatan produktif umat manusia dengan sepenuh-penuh. Marx menulis: “manusia membuat sejarahnya sendiri, tetapi mereka tidak membuatnya sesuka hati; mereka tidak membuatnya dalam keadaan yang mereka pilih sendiri, melainkan dalam keadaan yang mereka temukan, yang diturunkan dari masa lalu.” Dan hari ini, cita-cita akan masyarakat masa depan, sebuah masyarakat yang setara dan bebas (masyarakat komunis) adalah hasil dari perjuangan konkret lintas-generasi–sebuah perjuangan kelas revolusioner untuk mengubah kondisi material ini bukan sekadar cita-cita moral, melainkan pula keniscayaan yang dibebankan oleh sejarah di pundak kaum revolusioner proletariat.
Inilah perjuangan untuk masyarakat tanpa kelas, di mana alat produksi tidak dimiliki oleh individu atau kelompok kecil, tetapi secara kolektif. Engels dalam “Anti-Duhring” menggambarkan fase perkembangan masyarakat ini sebagai “penguasaan sadar atas hukum-hukum sosial, bukan tunduk padanya sebagai kekuatan buta.” Dalam masyarakat seperti itu, manusia tidak lagi diperbudak oleh kapital, modal, industriz atau tanah, tetapi menjadi pengendali sadar atas aktivitas produksi dan distribusinya. Dalam “Negara dan Revolusi”, Lenin menerangkan tentang proses transisi menuju masyarakat komunis mengharuskan sebuah kediktatoran proletariat. Inilah periode revolusi sosial di mana kelas buruh bangkit untuk merebut kekuasaan dan mendirikan negara buruh yang bersifat sementara. Ini bukan berarti tirani kekuasaan modal yang selalu menjadi karakteristik dari minoritas penguasa dalam masyarakat kelas yang ada, tetapi sebagai tahap di mana kelas pekerja mengambil-alih kekuasaan untuk merebut kendali atas produksi, menghancurkan setiap perlawanan dari kelas borjuasi yang tersisa, merencanakan perekonomian dalam skala nasional dan internasional, dan meningkatkan kekayaan material dalam masyarakat sebagai syarat pembangunan Komunisme.
Lenin berkata, “Kebebasan sejati hanya dapat lahir ketika manusia tidak lagi dieksploitasi oleh manusia lain, ketika alat produksi menjadi milik bersama.” Namun untuk mencapai masyarakat semacam itu, perlu perubahan sosial yang mendasar. Dalam perjuangan untuk masa depan komunisme inilah diperlukan sebuah partai revolusioner. Sebuah kepemimpinan revolusioner proletar yang mewarisi ingatan lintas-generasi dan mendidik kaum muda proletar menjadi kader-kader revolusioner yang akan mendedikasikan sepenuh hidupnya untuk kemenangan revolusi sosialis dunia.
Sisa-sisa feodal di ranah kebudayaan masih bertahan dalam dunia kapitalisme. Dalam masyarakat kapitalisme yang sedang sekarat ini, mistisisme itu mengambil bentuk yang paling merosot yang terekspresikan dalam gudang teoritis postmodernisme. Pemikiran yang mendasarkan dirinya pada idealisme subyektif ini mengandung pesimisme yang begitu akut, menolak perubahan mendasar menuju kehidapan yang lebih tinggi, dan memenjarakan perkembangan kognisi dan kebudayaan manusia dalam akrobat kata-kata radikal yang abstrak dan absurd.
Mistisisme yang merupakan musuh utama dari rasionalisme Abad Pencerahan–yang berhasil ditenggelamkan oleh kekuatan progresif dari liberalisme borjuasi di masa jayanya–dalam zaman krisis kapitalisme ini bangkit sebagai sampah-sampah lama yang mengambil bentuk baru. Inilah postmodernisme yang meracuni perkembangan pengetahuan manusia. Pemikirian mistis modern ini membuat masyarakat cenderung menerima keadaan sosio-ekonomi sebagai semacam “takdir” atau “hukum alam”; di mana tugas umat manusia adalah menyesuaikan diri untuk dapat menerimanya, bukan menempuh perjuangan revolusioner untuk mengubahnya sampai ke akar-akarnya. Dalam “Madilog”, Tan Malaka menulis: “selama manusia berpikir mistik, ia tetap menjadi budak keadaan.” Oleh karena itu, perjuangan menuju sosialisme bukan hanya perjuangan ekonomi, tetapi juga perjuangan ideologis–perjuangan melawan cara berpikir yang tidak ilmiah, tidak rasional, dan tidak dialektis. Melawan logika mistika berarti menempuh perjuangan revolusioner, yang materialis dan dialektis: bahwa kemiskinan, ketimpangan, dan penindasan bukan disebabkan oleh kehendak gaib, melainkan oleh sistem produksi dan kepemilikan yang menindas–semua ini bisa diubah, akan hancur dan musnah menjadi abu, digantikan oleh kehidupan yang baru dan lebih tinggi, asalkan kita berjuang secara sadar-kelas dan terorganisir kuat dalam pembangunan kepemimpinan revolusioner untuk revolusi proletar, sosialisme dunia.
Dalam konteks ini, kritik materialis terhadap idealisme menjadi senjata teoritis: ia membongkar ilusi yang menutupi kontradiksi sosial antagonis kapitalisme. Ideologi borjuis dan sisa-sisa feodal hanya bisa dilawan dengan berpedoman pada teori revolusioner yang merupakan senjata ideologi dan politik dalam perjuangan untuk membangun kepemimpinan revolusioner kaum buruh. Dengan kata lain: melawan logika mistika bukan hanya sekedar perjuangan teori, tetapi sekaligus terikat dengan pembangunan organisasi revolusioner sebagai sekolah politik dan kendaraan tempur dalam perjuangan kelas yang ada. Kesadaran revolusioner hanya dapat direngkuh dalam perjuangan kelas revolusioner untuk menghakhiri masyarakat kapitalisme. Artinya: pembangunan organisasi revolusioner menjadi satu-satunya jalan dalam mencapai pengetahuan yang lebih tinggi dan lebih maju–inilah pengetahuan akan sebuah masyarakat baru, yang lebih beradab dan lebih manusiawi.
Dalam “Revolusi yang Dikhianati”, Trotsky menerangkan bahwa sosialisme yang sejati bukan sekadar redistribusi kekayaan, tetapi pembebasan potensi manusia dari semua bentuk ketundukan baik terhadap kapital maupun terhadap kebodohan yang diinstitusikan. Ia menulis: “tujuan sosialisme bukan hanya meningkatkan produksi, tetapi juga membebaskan manusia dari perbudakan mental dan spiritual.” Oleh karena itu, melawan logika mistika berarti membangun pendidikan yang benar-benar maju, budaya yang benar-benar ilmiah, dan kesadaran baru yang dapat membantu umat manusia memahami posisi mereka dalam struktur sosial yang ada dan mengambil peran tertentu yang dapat memajukan sejarah masyarakatnya. Ini mencakup pembebasan ilmu-pengetahuan dari dogma, seni-budaya dari mistisisme, dan filsafat dan politik dari keranjingan mitos borjuasi. Dalam arti ini, sosialisme bukan hanya ekonomi baru, tetapi juga cara berpikir baru yang lahir dari keberadaan material yang sedang berubah.
Akhirnya, masyarakat yang dicita-citakan oleh kami dan pendahulu kami–Marx, Engels, Lenin, Trotsky, dan Tan Malaka–adalah masyarakat komunis di mana setiap manusia memiliki akses setara atas alat produksi, di mana ilmu-pengetahuan dapat berkembang bebas untuk menggantikan belenggu takhayul, solidaritas menggantikan kompetisi, dan kesadaran menggantikan kenaifan berabad-abad lamanya. Di masyarakat semacam itu, hubungan antar-manusia tidak lagi dimediasi oleh uang atau hierarki, melainkan oleh kerjasama dan kemanusiaan dalam tingkatannya yang lebih tinggi. Marx mengabadikan cita-cita ini dalam pernyataan yang menggugah dan indah: “dari masing-masing menurut kemampuannya, kepada masing-masing menurut kebutuhannya.” Inilah masyarakat yang benar-benar bebas sepenuh-penuhnya–bukan kebebasan atas kepemilikan pribadi terhadap tanah dan modal yang beraneka, tetapi kebebasan yang bersumber dari penguasaan massa manusia terhadap segala sarana material kehidupannya sendiri, yang di atasnya kesadaran dan solidaritas mekar dan berjaya untuk mengangkat daging dan kemanusiaan kita yang menderita ke tingkat peradaban yang sejati, murah-hati dan manusiawi.
