Langsung ke konten utama

Membaca Ulang The Empty Seashell sebagai Semiotika Ekstraktivisme di Teluk Buli

Penulis: M Said Marsaoly

 

Judul: The Empty Seashell: Witchcraft and Doubt on an Indonesian Island
Penulis: Nils Bubandt
Penerbit: Cornell University Press, 2014
Tebal: ± 320 halaman
ISBN: 978-0-8014-7945-8 (paperback)

Saya mengenal Nils Bubandt saat masih duduk di bangku SMP. Orang Buli, karib menyapanya dengan “Mister”. Setiap kali berpapasan di jalan, sapaan yang terdengar selalu sama: “Mister fan manca?”—Tuan mau ke mana?

Tapi yang membuat kami kagum, terutama bagi orang Buli Asal, adalah kefasihannya berbahasa Buli. Bahkan di kalangan anak muda sekarang, tidak semua mampu berbicara sefasih Nils Bubandt.

Kefasihan itu tak hanya kemampuan bahasa, melainkan cermin dari kedalaman pergaulannya dengan orang Buli, yang kelak terwujud dalam karya etnografinya The Empty Seashell: Witchcraft and Doubt on an Indonesian Island.

***

Nils Bubandt, antropolog asal Denmark, menghabiskan lebih dari dua dekade meneliti kampung pesisir
Buli di Halmahera Timur. Karyanya The Empty Seashell memadukan etnografi mendalam dan teori filsafat untuk membedah konsep gua—penyihir kanibal dalam kosmologi lokal—dan bagaimana fenomena ini hidup di dalam ketidakpastian, keraguan, dan ambiguitas sosial. Bubandt menolak pandangan klasik yang melihat sihir hanya sebagai “kepercayaan” atau sistem penjelasan. Buatnya, gua adalah sebuah aporia—pengalaman yang tak berujung, tak bisa diputuskan, dan terus membentuk relasi sosial, bahkan di tengah arus modernitas.

Bubandt memisahkan gua (witchcraft) dari sihir (sorcery) dalam tradisi Buli. Sihir adalah keterampilan yang bisa dipelajari, diperdagangkan, dan digunakan untuk tujuan tertentu, sering kali bersifat politik. Sebaliknya, gua adalah kualitas bawaan tubuh yang tak selalu disadari pelakunya, menyerang secara lokal, dan tidak memberi keuntungan sosial atau politik.

Masyarakat Buli hidup dalam ketidakpastian permanen: siapa saja bisa menjadi gua, bahkan tanpa mengetahuinya. Keraguan ini tak menghapus keyakinan, justru menjadi kondisi hidup yang terus diolah melalui ritual, narasi, dan strategi sosial.

Dalam analisisnya, Bubandt menggunakan konsep aporia dari Derrida untuk menunjukkan bahwa realitas gua adalah paradoks yang tak bisa diselesaikan: nyata sekaligus tak terlihat, hadir sekaligus absen.

Buku ini juga menelusuri sejarah panjang upaya masyarakat Buli untuk menghapus gua, mulai dari pengaruh misi Kristen, aturan kolonial dan negara, hingga janji modernitas. Namun, seperti hantu yang tak mau pergi, gua terus beradaptasi dalam konteks baru.

Etnografi ke Ekstraktivisme

Saya tertarik membaca Sampul buku The Empty Seashell yang menampilkan cangkang nautilus kosong di tepi pantai Teluk Buli, dengan latar Pulau Gei—yang kini telah selesai ditambang PT. Aneka Tambang dan dibiarkan menganga begitu saja.

Dalam narasi Bubandt, cangkang kosong adalah simbol “kehadiran dalam ketiadaan”: bukti fisik gua yang tak pernah terlihat langsung. Menggunakan semiotik kontemporer, cangkang itu juga menjadi metafora tubuh alam Halmahera yang telah dikosongkan oleh ekstraktivisme—hutan, laut, dan tanahnya diambil, menyisakan kulit indah untuk konsumsi visual global.

Pulau Gei di latar belakang adalah horizon yang tergadai. Ia adalah “ghost image” yang mengisyaratkan kekuatan tak kasat mata namun nyata: industri tambang yang, seperti gua, datang dari pinggiran, masuk ke pusat kehidupan, dan meninggalkan jejak kerusakan.

Wajah baru Suanggi

Dalam kosmologi Buli, gua dan suanggi adalah predator sosial yang bekerja di ruang ambiguitas—terlihat dan tak terlihat, diketahui namun diragukan. Pola ini selaras dengan cara industri tambang beroperasi: masuk dengan janji pekerjaan dan pembangunan dan CSR, namun meninggalkan kerusakan ekologis dan sosial. Hantu itu kini berwujud korporasi, konsesi, dan kapal tongkang.

Pantai Teluk Buli di foto adalah ruang liminal, perbatasan antara dunia manusia dan dunia gaib. Kini, ia juga menjadi batas antara kehidupan sehari-hari masyarakat dan kekuatan ekonomi-politik global yang sulit dihadapi secara langsung.

The Empty Seashell adalah salah satu etnografi paling penting dari Maluku Utara, menggabungkan detail kehidupan lokal dengan refleksi teoretis tingkat tinggi. Ia mengajak pembaca memahami bahwa gua tidak bisa dihapus dengan modernitas, sebagaimana ekstraktivisme tak bisa dihapus hanya dengan retorika pembangunan berkelanjutan.

Dengan pembacaan semiotik di sampulnya, buku ini juga membuka kemungkinan tafsir baru: gua sebagai metafora ekstraktivisme yang mengosongkan tubuh alam dan sosial Halmahera. Membaca buku ini hari ini berarti juga membaca lanskap Buli sebagai teks—teks yang di dalamnya mitos, sejarah, dan kapitalisme global saling menjelma satu sama lain.

Teluk Buli, Agustus 2025

Postingan populer dari blog ini

Kehilangan Kampung

  Oleh : Rahmat Marsaoly Ilustrasi Cerpen. Oleh Canva AI Dalam kampung yang tak lagi hidup. Setiap hari, ia hanya bisa berkata dalam hati:   “Kami telah kehilangan kampung.” Ibunya berdiri menunggu di depan rumah. Punggungnya membungkuk sedikit, menahan beban saloi di punggung. Lama ia menunggu. Karena berat, saloi itu ia turunkan perlahan ke bangku kayu di teras. Satu per satu ia keluarkan isinya: gumala, nilon, air dalam gelong lima liter, dua parang, dan sebuah kuda-kuda kecil. “Mon… Bamoon, ayo, Nak… kau lama sekali,” serunya. “Sebentar, Bu. Aku masih terima telepon dari teman kuliah di Jakarta,” sahut Mon dari dalam kamar. “Sabar terus… ah, kau ini. Nanti matahari makin panas, angin kancang, laut gelombang,” keluh ibunya dalam nada Halmahera yang pekat. Sambil berkata, ia mengupas kulit pinang dengan pisau kecil. Pintu kamar diseret. Suaranya kasar. Mon muncul dengan wajah malas, melangkah ke depan. Ibunya menatap heran. “Hei, Mon… kita mau mancing di laut, bukan ke konda...

Putusnya Mata-rantai Pengetahuan Kampung

Oleh: Rahmat Marsaoly Ilustrasi Gambar Sumber: google, protesters ... Papa, k alo  torang   mo  tebang  pohon sagu untuk bikin sagu tumang ,  usia pohon  sagu  harus  berapa tahun?  Tanya  bagitu   n goni   mo  bikin sagu  kong ?   Dia p usia kurang  lebe  13-14 tahun baru bisa bikin.  Ngoni anak-anak sekarang  so  tra  poha  bikin ... Tintakampung.info- Kalimat itu adalah potongan percakapan saya dengan bapak saya. Jawabannya adalah sindiran yang lembut, tapi sarat makna. Ia menyingkap kenyataan menyedihkan yang sedang kita hadapi hari ini. Generasi kami—anak-anak kampung yang hidup di zaman ini—tak lagi akrab dengan pengetahuan dasar yang dulu menjadi warisan dan kebanggaan leluhur. Saya sendiri, dan barangkali banyak teman seangkatan, bahkan tak tahu pada usia berapa pohon sagu bisa dipanen. Pengetahuan itu, yang dulu tertanam kuat dalam hidup sehari-hari orang kampung, kin...

Azam dan Karang Harapan

Penulis: Iswandi Siawa Ilustrasi Azam dan Karang Harapan Tintakampung.info-  Sekolah deng tara sekolah sama saja cari makan. (Azam) Mabapura, seorang lelaki yang berusia anak padi, tumbuh di tengah kehidupan yang mencekam. Setelah berpindah dari negeri seberang [1] ke Mabapura, Azam hidup bersama dua pasangan suami istri [2] yang menjadikan Azam kokoh dan kuat menjalani hidup setiap harinya. Saat teman-temannya menyiapkan buku dan pena untuk meraih mimpi di bangku sekolah, lain hal dengan Azam yang harus menyiapkan mata kail serta alat mancing lainnya.  Kehidupan Azam begitu kompleks dengan lautan. Tempat ikan seputaran laut Mabapura hampir dikuasainya, bahkan waktu ikan datang dan pergi. Pagi, Azam telah bergegas ke ujung pelabuhan. Ia gantungkan harapan seorang diri di ujung mata kail setiap kali lemparan ke laut.   Ia seorang diri menyambut fajar dengan semangat keemasan yang menyelimuti pagi . Kesejukan laut Mabapura di pagi hari adalah ketenangan yang tiada tand...