Langsung ke konten utama

80 Tahun: garuda, Naga dan Lain-lain

Penulis: M Said Marsaoly 




Ilustrasi: Garuda mencengkeram Naga

Cinta Garuda sesungguhnya adalah cinta manusia kepada bumi, cinta yang menghidupkan. Tapi naga tak pernah benar-benar lenyap. Ia hanya berganti rupa. Kita menyebutnya oligarki.

Indonesia merdeka delapan puluh tahun. Saya teringat cerita Garuda—burung perkasa yang turun melawan naga—setelah menonton The Guardian of Nusantara karya Alffy Rev, Once Mekel, Sudjiwo Tejo, dan Novia Bachmid.

Video itu, yang tayang setahun lalu di kanal Youtube itu, masih terasa relevan di usia bangsa ini yang kian renta. Sebab mitos, seperti sejarah, tak pernah selesai. Ia selalu kembali, menagih makna baru di zaman yang berbeda.

Dalam kisahnya, Garuda tak hanya lambang kekuatan. Ia melawan naga demi menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Dari sana kita tahu, asal-usul Garuda bukanlah mengenai tahta, tapi cinta—cinta anak pada ibunya, cinta yang menolak diperbudak. Ibunya adalah bumi, rahim kehidupan. Dari tanah yang lembap tumbuh tanaman, dari rahim itu kita memperoleh air, udara, dan masa depan.

Jadi, cinta Garuda sesungguhnya adalah cinta manusia kepada bumi, cinta yang menghidupkan. Tapi naga tak pernah benar-benar lenyap. Ia hanya berganti rupa. Kita menyebutnya oligarki. Orang Indonesia sudah lama mengenalnya dengan metafor “sembilan naga”: para penguasa ekonomi yang melilit republik dengan belitan modal.

Di Halmahera, naga itu lebih kasat mata. Ia menjelma dalam konsesi tambang nikel, dalam mesin-mesin raksasa yang menggali perut bumi. Atas nama transisi energi, hutan ulayat dibongkar, sungai dicemari, kampung-kampung kehilangan tanah leluhur. Hilirisasi dipuja, tapi yang hilang justru lebih nyata: ikan, hutan, dan air bersih.

Ironisnya, Garuda kini lebih sering jadi hiasan di dinding-dinding birokrasi. Padahal ia lahir dari cinta kasih seorang anak pada ibunya. Cinta yang menolak perbudakan—juga perbudakan baru yang kini menimpa bumi.

Delapan puluh tahun setelah Proklamasi, pertanyaan itu menggema: masihkah kita mewarisi Garuda, atau diam-diam kita berpihak pada naga dan memujanya?

Delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Angka itu seperti sebuah perayaan, tetapi juga seperti cermin yang retak. Kita melihat wajah kita sendiri, tetapi terbelah dengan pertanyaan-pertanyaan. Apakah merdeka berarti membiarkan bumi—ibu yang memberi kehidupan—diperbudak oleh naga yang berganti rupa? Apakah kemerdekaan hanya parade di jalan-jalan, atau keberanian menjaga tanah, air, dan udara yang membuat kita tetap ada?

Saya teringat Amartya Sen pernah menulis: kemerdekaan tak hanya bebas dari penjajah, tetapi bebas dari segala belitan yang merampas martabat manusia. Dan mungkin, martabat itu pertama-tama lahir dari cara kita memperlakukan ibu. Bila bumi terus dililit naga, kemerdekaan ini sesungguhnya pincang.

Garuda yang dahulu terbang, bukan untuk takhta, tapi demi cinta. Ia turun melawan naga menyelamatkan ibunya. Delapan puluh tahun setelah Proklamasi, mungkin itulah yang harus kita ingat: merdeka tak pernah selesai, dan naga selalu kembali. Pertanyaannya tinggal satu: apakah kita masih sanggup mewarisi sayap Garuda, atau perlahan menyerahkan diri ke dalam pelukan naga?

Postingan populer dari blog ini

Kehilangan Kampung

  Oleh : Rahmat Marsaoly Ilustrasi Cerpen. Oleh Canva AI Dalam kampung yang tak lagi hidup. Setiap hari, ia hanya bisa berkata dalam hati:   “Kami telah kehilangan kampung.” Ibunya berdiri menunggu di depan rumah. Punggungnya membungkuk sedikit, menahan beban saloi di punggung. Lama ia menunggu. Karena berat, saloi itu ia turunkan perlahan ke bangku kayu di teras. Satu per satu ia keluarkan isinya: gumala, nilon, air dalam gelong lima liter, dua parang, dan sebuah kuda-kuda kecil. “Mon… Bamoon, ayo, Nak… kau lama sekali,” serunya. “Sebentar, Bu. Aku masih terima telepon dari teman kuliah di Jakarta,” sahut Mon dari dalam kamar. “Sabar terus… ah, kau ini. Nanti matahari makin panas, angin kancang, laut gelombang,” keluh ibunya dalam nada Halmahera yang pekat. Sambil berkata, ia mengupas kulit pinang dengan pisau kecil. Pintu kamar diseret. Suaranya kasar. Mon muncul dengan wajah malas, melangkah ke depan. Ibunya menatap heran. “Hei, Mon… kita mau mancing di laut, bukan ke konda...

Putusnya Mata-rantai Pengetahuan Kampung

Oleh: Rahmat Marsaoly Ilustrasi Gambar Sumber: google, protesters ... Papa, k alo  torang   mo  tebang  pohon sagu untuk bikin sagu tumang ,  usia pohon  sagu  harus  berapa tahun?  Tanya  bagitu   n goni   mo  bikin sagu  kong ?   Dia p usia kurang  lebe  13-14 tahun baru bisa bikin.  Ngoni anak-anak sekarang  so  tra  poha  bikin ... Tintakampung.info- Kalimat itu adalah potongan percakapan saya dengan bapak saya. Jawabannya adalah sindiran yang lembut, tapi sarat makna. Ia menyingkap kenyataan menyedihkan yang sedang kita hadapi hari ini. Generasi kami—anak-anak kampung yang hidup di zaman ini—tak lagi akrab dengan pengetahuan dasar yang dulu menjadi warisan dan kebanggaan leluhur. Saya sendiri, dan barangkali banyak teman seangkatan, bahkan tak tahu pada usia berapa pohon sagu bisa dipanen. Pengetahuan itu, yang dulu tertanam kuat dalam hidup sehari-hari orang kampung, kin...

Azam dan Karang Harapan

Penulis: Iswandi Siawa Ilustrasi Azam dan Karang Harapan Tintakampung.info-  Sekolah deng tara sekolah sama saja cari makan. (Azam) Mabapura, seorang lelaki yang berusia anak padi, tumbuh di tengah kehidupan yang mencekam. Setelah berpindah dari negeri seberang [1] ke Mabapura, Azam hidup bersama dua pasangan suami istri [2] yang menjadikan Azam kokoh dan kuat menjalani hidup setiap harinya. Saat teman-temannya menyiapkan buku dan pena untuk meraih mimpi di bangku sekolah, lain hal dengan Azam yang harus menyiapkan mata kail serta alat mancing lainnya.  Kehidupan Azam begitu kompleks dengan lautan. Tempat ikan seputaran laut Mabapura hampir dikuasainya, bahkan waktu ikan datang dan pergi. Pagi, Azam telah bergegas ke ujung pelabuhan. Ia gantungkan harapan seorang diri di ujung mata kail setiap kali lemparan ke laut.   Ia seorang diri menyambut fajar dengan semangat keemasan yang menyelimuti pagi . Kesejukan laut Mabapura di pagi hari adalah ketenangan yang tiada tand...