Oleh: R. Marsaoly![]() |
Ilustrasi esai. oleh; Canva Ai |
Pulang pada rahim, kita bisa lahir kembali: sebagai manusia yang lebih adil, lebih bijak, dan lebih siap merawat semesta.
Kita semua datang dari rahim. Sebuah ruang hening, hangat, dan gelap, tempat di mana denyut pertama kehidupan berdetak. Rahim adalah awal mula semua hal yang kita kenal sebagai dunia: tubuh, jiwa, cinta, bahkan kekacauan. Dan di rahim perempuanlah, semesta mengenal makna “ada”.
Perempuan tidak hanya mengandung kehidupan, tapi mengandung keberlanjutan. Bukan sekadar perantara biologis dari satu generasi ke generasi lainnya. Perempuan, penjaga semesta kecil di dalam tubuhnya yang melahirkan dunia. Maka, menyebut perempuan sebagai rahim semesta bukanlah metafora semata, tapi pengakuan pada kenyataan paling purba dan paling fundamental dari kehidupan manusia.
Di dalam rahim perempuan, semesta bersembunyi sebelum ia lahir ke dunia. Di tubuhnya, sejarah tumbuh dan takdir dipahat. Dalam kebudayaan Timur, perempuan bahkan disamakan dengan bumi. Rahim dan tanah adalah dua tempat sakral yang melahirkan dan menghidupi.
Rahim, Pusat Kosmos dan Peradaban
Dalam banyak kebudayaan Timur, terutama di kawasan Nusantara, tubuh perempuan, khususnya rahim, dihormati sebagai pusat semesta. Pada masyarakat adat seperti Minangkabau, sistem matrilineal menempatkan perempuan sebagai pewaris tanah, rumah, dan sejarah. Tanpa perempuan, tidak ada nasab. Tanpa rahim, tidak ada nama.
Dalam praktik ritual di banyak kampung, seperti di Halmahera dan Papua, perempuan adalah pemanggil hujan, penjaga benih, dan penyambung jiwa leluhur. Mereka dipercaya memiliki kedekatan spiritual dengan alam, pusat energi kampung. Itu semua bukan karena mereka lemah, tetapi karena mereka “mengandung” semua itu. Bayangkan: jika rahim adalah tempat kehidupan tumbuh, maka menyerang, dalam arti meremehkan perempuan, sama saja dengan merusak pusat keseimbangan kosmik.
Tidak heran jika dalam masyarakat adat, kekerasan terhadap perempuan sering dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap tatanan dunia.
Namun ironi zaman modern membawa kita pada jurang yang dalam. Tubuh perempuan dikomodifikasi: dari iklan, sinetron, hingga politik. Rahim bukan lagi dilihat sebagai pusat penciptaan, melainkan disempitkan menjadi obyek kendali dan kontrol. Perempuan, bukan lagi tempat tumbuh cinta, melainkan tempat menampung luka.
Menemukan Kembali Semesta dalam Tubuh Perempuan
Sudah saatnya kita mendekonstruksi cara pandang terhadap perempuan. Bukan dengan memujanya dalam retorika kosong, tetapi dengan menempatkannya sebagai pusat kehidupan, bukan pelengkap. Dalam setiap kebijakan, dalam setiap tafsir agama, dalam setiap diskursus sosial, tubuh perempuan harus hadir sebagai subjek.
Perempuan adalah rahim semesta. Maka menyakiti mereka adalah menyakiti masa depan umat manusia. Melupakan mereka adalah melupakan asal-muasal kita. Meninggalkan mereka adalah menyingkirkan cahaya dari ruang gelap kehidupan.
Kini, di dunia yang sedang patah ini, oleh perang, keserakahan, kehancuran bumi, dan kehilangan makna. Kita butuh kembali ke yang paling mendasar. Dan di sanalah, perempuan berdiri. Tegak. Sunyi. Tapi tetap memberi.
Kita perlu dunia yang dibangun oleh nilai-nilai perempuan: merawat, mengandung, mendengar, dan menumbuhkan. Kita tidak butuh lagi dunia yang dibangun oleh ego, dominasi, dan kekuasaan tanpa batas. Dunia butuh rahim baru. Dunia butuh cara hidup yang meletakkan cinta di pusat segalanya.
Dan perempuan, sejak awal, telah memberi kita teladan itu. Perempuan adalah tiang negara. Bila mereka rusak, maka rusaklah negara. (Hadis Nabi Muhammad Saw, dalam riwayat al-Baihaqi)
Kini saatnya, kita, menyalakan cahaya dari tubuh perempuan. Pulang pada rahim, kita bisa lahir kembali: sebagai manusia yang lebih adil, lebih bijak, dan lebih siap merawat semesta.
Mabapura, tengah Juli, 2025