Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2025

Putusnya Mata-rantai Pengetahuan Kampung

Oleh: Rahmat Marsaoly Ilustrasi Gambar Sumber: google, protesters ... Papa, k alo  torang   mo  tebang  pohon sagu untuk bikin sagu tumang ,  usia pohon  sagu  harus  berapa tahun?  Tanya  bagitu   n goni   mo  bikin sagu  kong ?   Dia p usia kurang  lebe  13-14 tahun baru bisa bikin.  Ngoni anak-anak sekarang  so  tra  poha  bikin ... Tintakampung.info- Kalimat itu adalah potongan percakapan saya dengan bapak saya. Jawabannya adalah sindiran yang lembut, tapi sarat makna. Ia menyingkap kenyataan menyedihkan yang sedang kita hadapi hari ini. Generasi kami—anak-anak kampung yang hidup di zaman ini—tak lagi akrab dengan pengetahuan dasar yang dulu menjadi warisan dan kebanggaan leluhur. Saya sendiri, dan barangkali banyak teman seangkatan, bahkan tak tahu pada usia berapa pohon sagu bisa dipanen. Pengetahuan itu, yang dulu tertanam kuat dalam hidup sehari-hari orang kampung, kin...

Kejenuhan Pengetahuan sebuah Refleksi

Oleh: Ahlan Maneke Ilustrasi  “Kehidupan yang begitu-begitu saja, berjalan datar, kering, hampa, sampai pada kejenuhan (bosan). Duduk bersama berbagi pengetahuan bukan  lagi hal yang istimewa. Tidak lagi si-istimewa ketika  anda berada di dunia kampus untuk berdikusi berbagai pengetahuan. Apalagi dengan kemajuan dan kecanggihan teknologi saat ini. Orang-orang lebih percaya diri untuk mengetahui segala hal lewat media online  atau google. Lebih hebatnya AI/Meta,  mampu menjawab semua pertanyaan yang ingin kita ketahui. Orang merasa malas untuk berinteraksi secara langsung. AI/Meta seperti   mengambil alih ruang diskusi antar-sesama. Kebanyakan orang  merasa, sudah pada posisi 'zona nyaman' mereka masing-masing. Tidak perlu ada ini dan itu lagi.” Suatu waktu saya dan beberapa teman bercerita santai. Merefleksi kembali tentang kampung. Banyak cerita yang muncul begitu saja. Mengalir. Jika cerita-cerita ini tidak ditulis, bisa jadi habis di situ saja. Sepe...

Mabapura 53 Tahun

Foto: Mabapura Tintakampung.info-   Angin malam menabrak wajah Terbangun menatap Mabapura Aku saksikan 53 Tahun sudah usianya Mabapura terlahir dari rahim rembulan Semburat cahayanya menerangi seluruh Mabapura tiada pernah redup Gulungan cerita kampung kugerai Kudapati kisah-kisah menabrak kenyataan Dan Aku takut! janganlah kenyataan hari ini melumat kisah-kisah gempita itu Tapi, bagaimanapun..!!! Mabapura adalah keikhlasan Luka menganga kami tutupi Api menyala menyulut dendam Kami siram-basah bara-hati Tanjung memecah ombak, meredam hasrat Bobane mencipta danau teduh kebersamaan Moronopo pulau Mou Ajari keintiman Di hati generasi torang bilow Kitong pandang rahasia yg tasimpan Duhai leluhur, Pnu re Gelet Suba Joo, suba Joo..! Amek dor maaf re ampun Jika benalu sombong masih melilit Jika duri hati bolom tacabu Mereka yang berpulang, jiwa kami kenang Mereka yang tiada, doa kami tengadah Mabapura, 16 Desember 2024 RMR

Tobegu dan Sepatu Baru, Kisah Rayuan Tambang

  Oleh: Surya Saluang* ILUSTRASI TOBEGU DAN SEPATU BARU (sumber ilustrasi: iStok) “Bapak pasti orang penting! Hanya orang-orang penting saja yang menemui Tobegu,” kata  Supir Bentor, Buli, 2010.  “Ada! sepatunya ada! Tunggu, saya ambil!” Segera dia berbalik badan cepat sekali, mengambil sepatu ke ruang belakang. Saya bersidegap, bertanya‐tanya dengan sikap Tobegu. Saya memperlihatkan sikap antusias, minat, dan ketertarikan tetapi bukan karena ingin membandingkan sebagus apa sepatu yang dibeli. Namun, mengenai apa yang bagus bagi, menurut dan dalam pandang dia. Dia tampak senang dengan antusiasme saya. Sepatu itu dia beli di Jakarta. Dia dihadiahi tiket jalan-jalan oleh pembeli tanah, lengkap dengan uang jajan selama perjalanan.Saya tak habis pikir, Tobegu (nama samaran) adalah kepala suku dari satu komunitas yang belum begitu mengenal jual-beli atau ekonomi uang. Sampai kini, Tobegu dan komunitas masih mengandalkan hidup dari meramu dan berburu. Apa guna jalan-jalan ke ko...

Kehilangan Kampung

  Oleh : Rahmat Marsaoly Ilustrasi Cerpen. Oleh Canva AI Dalam kampung yang tak lagi hidup. Setiap hari, ia hanya bisa berkata dalam hati:   “Kami telah kehilangan kampung.” Ibunya berdiri menunggu di depan rumah. Punggungnya membungkuk sedikit, menahan beban saloi di punggung. Lama ia menunggu. Karena berat, saloi itu ia turunkan perlahan ke bangku kayu di teras. Satu per satu ia keluarkan isinya: gumala, nilon, air dalam gelong lima liter, dua parang, dan sebuah kuda-kuda kecil. “Mon… Bamoon, ayo, Nak… kau lama sekali,” serunya. “Sebentar, Bu. Aku masih terima telepon dari teman kuliah di Jakarta,” sahut Mon dari dalam kamar. “Sabar terus… ah, kau ini. Nanti matahari makin panas, angin kancang, laut gelombang,” keluh ibunya dalam nada Halmahera yang pekat. Sambil berkata, ia mengupas kulit pinang dengan pisau kecil. Pintu kamar diseret. Suaranya kasar. Mon muncul dengan wajah malas, melangkah ke depan. Ibunya menatap heran. “Hei, Mon… kita mau mancing di laut, bukan ke konda...